Rabu, 08 Desember 2010

Rekonstruksi Pendukung Revolusi

“The cinema is the greatest medium of mass agitation” Stalin



Pasca revolusi Oktober 1917, Rusia hancur lebur. Perang mengakibatkan penderitaan berkepanjangan. Panji Wibowo dalam artikelnya yang berjudul Gairah Mencipta di Negeri (tanpa) Sensor, mengatakan bahwa 160 juta rakyat Rusia dilanda kemiskinan, lebih dari setengahnya buta huruf. Untuk memulihkan keadaan dengan cepat, pemerintah yang berkuasa saat itu, Lenin, memilih film sebagai media propaganda. Secara logika, untuk memahami film tidak perlu kemampuan baca tulis. Lagipula, film dapat menjangkau seluruh rakyat Rusia yang tersebar di wilayah yang sangat luas.



Semenjak kematian Lenin pada 1924, tampuk pemerintahan beralih pada Stalin. Namun hal itu tak lantas menjadikan pemerintah abai terhadap perfilman. Stalin justru mengintervensi film dengan lebih brutal. Ia sadar akan kedahsyatan film untuk menghasut massa. Pada masa pemerintahannya, film The Battleship Potemkin (1925) diproduksi. Film yang disutradarai oleh Sergei Eisenstein ini merekonstruksi ulang pemberontakan awak kapal perang Potemkin terhadap pemerintah Tsar pada 1905.



Dalam film bisu hitam putih ini, pemerintah Tsar digambarkan dengan sangat kejam. Seorang ibu yang memohon belas kasihan serdadu Tsar lantaran anaknya sakit keras tak digubris sedikit pun. Bahkan, serdadu Tsar menembak sang ibu yang sedang menggendong anaknya itu. Sontak saja, serdadu Tsar bakal menuai caci. Sedangkan para pelaut Potemkin akan meraih simpati. Harapan pemerintah, seusai menonton film ini, rakyat Rusia akan memihak Bolshevik, partai yang memimpin revolusi saat itu.



Sebagaimana film-film klasik Rusia pada umumnya, film yang dipersembahkan untuk memperingati 20 tahun revolusi ini, sarat propaganda. Sejak awal, film ini dibuka dengan teks yang sangat provokatif, “Revolution is war. Of all the wars known in history. It is the only lawful, rightful, just, and truly great war. In Russia, this war has been declared and begun”. Kutipan pernyataan Lenin pada tahun 1905 itu menegaskan bahwa perang ialah satu-satunya jalan untuk mencapai revolusi.



Tak ketinggalan, ideologi komunis Marxist khas Bolshevik, pun disusupkan. Seorang pekerja kapal membuang piring bertuliskan Give us today our daily bread, yang merupakan penggalan doa Katolik “Bapa Kami”. Bahkan, seorang pendeta―berjenggot putih panjang bak santa claus dan memegang salib dijadikan bulan-bulanan. Alih-alih mematuhi nasehat pendeta untuk tidak melakukan kekerasan, seorang pelaut justru menendangnya. Sang pendeta pun pura-pura meninggal lantaran takut dibunuh. Harap maklum, komunisme yang dianut oleh rezim yang berkuasa di Rusia memang menganggap agama sebagai penghambat revolusi.



Terlepas dari propagandanya yang digambarkan dengan sangat ‘kasar’, Eisenstein terbilang sangat brilian. Tak ayal jika film ini berhasil menyabet gelar The Greatest Film of All Time dalam Brussel’s World Fair 1958. Hal yang banyak dipuji dari film ini ialah teknik editingnya yang menawan. Dapat dikatakan bahwa film ini adalah pelopor editing film di dunia. Montage dalam film Rusia sangat khas. Sementara editing hanyalah bagian kecil dari montage. Eisenstein memperkenalkan jenis baru montage yakni collision (Wibowo, 2006). Prinsip dasarnya ialah dengan menubrukkan dua gambar yang berbeda agar memberikan makna yang baru. Perguliran cerita tidak terbatas pada temporal melainkan spasial. Intelectual montage dari Eisenstein menyerang kognisi sehingga audiens lebih aktif dalam memahami film.



Peran serta pemerintah Rusia lah yang memajukan industri perfilman Rusia. Semenjak Lenin berkuasa, sekolah-sekolah film didirikan. Eisenstein ialah salah satu murid yang dididik sekolah film Rusia. Akses film pun menjadi mudah karena harganya murah sehingga seluruh rakyat dapat menikmatinya (Wibowo, 2006). Alangkah baiknya jika pemerintah Indonesia berlaku sama, dengan mendukung sineas-sineas Indonesia. Alih-alih demikian, pemerintah Indonesia justru ‘meniru’ intervensinya, misalnya dengan melarang pemutaran film Balibo.



Seharusnya kita malu. Puluhan tahun yang lalu, dengan keterbatasan teknologi dan maraknya intervensi, para sineas Rusia dapat menghasilkan film yang sangat berkualitas.




Referensi:

http://jikala.multiply.com/journal/item/2

0 komentar:

Posting Komentar

Rekonstruksi Pendukung Revolusi

| |

“The cinema is the greatest medium of mass agitation” Stalin



Pasca revolusi Oktober 1917, Rusia hancur lebur. Perang mengakibatkan penderitaan berkepanjangan. Panji Wibowo dalam artikelnya yang berjudul Gairah Mencipta di Negeri (tanpa) Sensor, mengatakan bahwa 160 juta rakyat Rusia dilanda kemiskinan, lebih dari setengahnya buta huruf. Untuk memulihkan keadaan dengan cepat, pemerintah yang berkuasa saat itu, Lenin, memilih film sebagai media propaganda. Secara logika, untuk memahami film tidak perlu kemampuan baca tulis. Lagipula, film dapat menjangkau seluruh rakyat Rusia yang tersebar di wilayah yang sangat luas.



Semenjak kematian Lenin pada 1924, tampuk pemerintahan beralih pada Stalin. Namun hal itu tak lantas menjadikan pemerintah abai terhadap perfilman. Stalin justru mengintervensi film dengan lebih brutal. Ia sadar akan kedahsyatan film untuk menghasut massa. Pada masa pemerintahannya, film The Battleship Potemkin (1925) diproduksi. Film yang disutradarai oleh Sergei Eisenstein ini merekonstruksi ulang pemberontakan awak kapal perang Potemkin terhadap pemerintah Tsar pada 1905.



Dalam film bisu hitam putih ini, pemerintah Tsar digambarkan dengan sangat kejam. Seorang ibu yang memohon belas kasihan serdadu Tsar lantaran anaknya sakit keras tak digubris sedikit pun. Bahkan, serdadu Tsar menembak sang ibu yang sedang menggendong anaknya itu. Sontak saja, serdadu Tsar bakal menuai caci. Sedangkan para pelaut Potemkin akan meraih simpati. Harapan pemerintah, seusai menonton film ini, rakyat Rusia akan memihak Bolshevik, partai yang memimpin revolusi saat itu.



Sebagaimana film-film klasik Rusia pada umumnya, film yang dipersembahkan untuk memperingati 20 tahun revolusi ini, sarat propaganda. Sejak awal, film ini dibuka dengan teks yang sangat provokatif, “Revolution is war. Of all the wars known in history. It is the only lawful, rightful, just, and truly great war. In Russia, this war has been declared and begun”. Kutipan pernyataan Lenin pada tahun 1905 itu menegaskan bahwa perang ialah satu-satunya jalan untuk mencapai revolusi.



Tak ketinggalan, ideologi komunis Marxist khas Bolshevik, pun disusupkan. Seorang pekerja kapal membuang piring bertuliskan Give us today our daily bread, yang merupakan penggalan doa Katolik “Bapa Kami”. Bahkan, seorang pendeta―berjenggot putih panjang bak santa claus dan memegang salib dijadikan bulan-bulanan. Alih-alih mematuhi nasehat pendeta untuk tidak melakukan kekerasan, seorang pelaut justru menendangnya. Sang pendeta pun pura-pura meninggal lantaran takut dibunuh. Harap maklum, komunisme yang dianut oleh rezim yang berkuasa di Rusia memang menganggap agama sebagai penghambat revolusi.



Terlepas dari propagandanya yang digambarkan dengan sangat ‘kasar’, Eisenstein terbilang sangat brilian. Tak ayal jika film ini berhasil menyabet gelar The Greatest Film of All Time dalam Brussel’s World Fair 1958. Hal yang banyak dipuji dari film ini ialah teknik editingnya yang menawan. Dapat dikatakan bahwa film ini adalah pelopor editing film di dunia. Montage dalam film Rusia sangat khas. Sementara editing hanyalah bagian kecil dari montage. Eisenstein memperkenalkan jenis baru montage yakni collision (Wibowo, 2006). Prinsip dasarnya ialah dengan menubrukkan dua gambar yang berbeda agar memberikan makna yang baru. Perguliran cerita tidak terbatas pada temporal melainkan spasial. Intelectual montage dari Eisenstein menyerang kognisi sehingga audiens lebih aktif dalam memahami film.



Peran serta pemerintah Rusia lah yang memajukan industri perfilman Rusia. Semenjak Lenin berkuasa, sekolah-sekolah film didirikan. Eisenstein ialah salah satu murid yang dididik sekolah film Rusia. Akses film pun menjadi mudah karena harganya murah sehingga seluruh rakyat dapat menikmatinya (Wibowo, 2006). Alangkah baiknya jika pemerintah Indonesia berlaku sama, dengan mendukung sineas-sineas Indonesia. Alih-alih demikian, pemerintah Indonesia justru ‘meniru’ intervensinya, misalnya dengan melarang pemutaran film Balibo.



Seharusnya kita malu. Puluhan tahun yang lalu, dengan keterbatasan teknologi dan maraknya intervensi, para sineas Rusia dapat menghasilkan film yang sangat berkualitas.




Referensi:

http://jikala.multiply.com/journal/item/2

0 komentar:

Posting Komentar