Rabu, 08 Desember 2010

Neorealisme Italia: Jalan Tengah Perfilman Dunia

Berani Keluar dari Mainstream Hollywood



Usmar Ismail, tokoh perfilman Indonesia, sempat berdialektika dengan Presiden Soekarno tentang film. Usmar meminta Bung Karno memilih antara film Rusia (kurang populer tetapi sarat propaganda) dan film Hollywood (populer tetapi mengandung propaganda halus). Bagi Bung Karno, kedua genre film tersebut tidak sesuai dengan revolusi Indonesia. Sang proklamator kemerdekaan RI itu sontak mengambil jalan tengah. Ia menyarankan film neorealisme Italia, yang menghibur tetapi kaya makna.



Film Ladri di Biciclette, yang diterjemahkan menjadi The Bicycle Thief (1948), dapat dikatakan sebagai pelopor film neorealisme Italia. Bahkan, Andre Bazin dalam tulisannya yang berjudul Neorealism and Pure Cinema¸ menyebut The Bicycle Thief sebagai film terbaik yang mewakili neorealisme Italia, yang berani keluar dari pakem Hollywood.



Sebagaimana film-film neorealisme lainnya, The Bicycle Thief tidak diperankan oleh aktor papan atas. Pemeran Antonio (Lambero Maggiorani) memang seorang pengangguran yang datang ke lokasi casting untuk mengantarkan anaknya. Sedangkan pemeran Bruno (Enzo Staiola) ditemukan Vittorio de Sica, sang sutradara, di sekitar lokasi syuting. Seolah-olah tidak ada acting dalam film ini. Lambero dan Enzo yang memerankan ayah-anak ini seperti berperan sebagai dirinya sendiri. Untuk menjalin chemistry ayah-anak, de Sica hanya memerintahkan Enzo untuk terus berjalan. Sebagai sutradara, ia tidak banyak mengarahkan.



Setali tiga uang dengan para aktor, setting yang dipakai pun tanpa polesan. Tidak ada bangunan yang sengaja dibuat.Film The Bicycle Thief menyuguhkan kenyataan kota Roma, Italia pada tahun 1948. Lantaran efisiensi biaya dan keterbatasan teknologi, pencahayaan murni tergantung pada matahari. Oleh karena itu, pengambilan gambar mayoritas di luar ruangan. Ada kalanya adegan dilakukan di dalam ruangan tetapi pada siang hari sehingga sinar matahari dapat masuk melalui jendela. Jika cermat, pasti Anda akan tergelak karena tidak ada malam di film ini. Para sineas Italia pada masa itu sepertinya masih kesulitan dengan pencahayaan buatan. Atau mereka justru sengaja? Alasannya semata-mata agar tidak mencederai konsep dasar neorealisme yang berpedoman pada kenyataan?



Realita terbentur teknologi. Warna-warni tak dapat dibingkai di film hitam putih ini. Namun, warna tidak menjadi soal. Karena The Bicycle Thief ialah film klasik. Patut dicatat bahwa tidak semua film kuno merupakan film klasik. Menurut Taufanny Nugraha, Menikmati Film Klasik, dalam koran Republika edisi Sabtu 9 Oktober 2010, film klasik hanyalah film yang selalu diapresiasi dan tak pernah basi. Lisabona Rahman, manager program Kineforum DKJ, berkata bahwa sebuah pintu lintas generasi dapat terbuka melalui film klasik. Dengan menonton film klasik, kita menjadi lebih kritis melihat masa kini, apakah kita mengalami kemajuan atau justru kemunduran.



Sepertinya perfilman dunia mengalami kemunduran yang sangat parah, bukan dari segi teknologi, tetapi dari segi cerita. Kompleksitas audio visual yang ditawarkan berbagai film Hollywood tak lantas mendaulatnya sebagai bentuk kemajuan. Toh cerita sederhana seputar pencuri sepeda saja masih lebih banyak diapresiasi daripada film-film mainstream. Banalitas kemiskinan yang diangkat mampu mengaduk-aduk emosi penonton. Terlebih, saat sang ayah menampar anaknya yang membiarkan pencuri sepedanya lolos. Lalu, saat sang ayah akhirnya putus asa dan memutuskan untuk mencuri sepeda juga. Sang anak menangis saat ayahnya hendak digiring ke polisi. Tangisan itu membuat pemilik sepeda iba dan mengurungkan niatnya untuk menjebloskan sang ayah ke dalam penjara. Ternyata, drama realita bisa sangat menyentuh. Tak heran jika program drama realita khas Helmi Yahya kini menghiasi televisi.



Sebagaimana film neorealisme yang merekam kenyataan dengan jujur, saya juga ingin jujur. Sebenarnya, setelah satu setengah jam berlalu, saya sangat mengantuk saat menonton film ini. Durasinya terlalu lama untuk jalan cerita yang sederhana. Apalagi, judulnya sama sekali tidak membantu. The Bicycle Thief, pencuri sepeda. Sejak awal saya sudah tahu bahwa akan ada sebuah sepeda yang dicuri. LOL.




Referensi:

Menikmati Film Klasik. Koran Republika edisi Sabtu 9 Oktober 2010.

http://majalahannida.multiply.com/reviews/item/3

http://bicarafilm.com/baca/2010/05/08/ladri-de-biciclette-nasib-para-pencuri-sepeda.html

0 komentar:

Posting Komentar

Neorealisme Italia: Jalan Tengah Perfilman Dunia

| |

Berani Keluar dari Mainstream Hollywood



Usmar Ismail, tokoh perfilman Indonesia, sempat berdialektika dengan Presiden Soekarno tentang film. Usmar meminta Bung Karno memilih antara film Rusia (kurang populer tetapi sarat propaganda) dan film Hollywood (populer tetapi mengandung propaganda halus). Bagi Bung Karno, kedua genre film tersebut tidak sesuai dengan revolusi Indonesia. Sang proklamator kemerdekaan RI itu sontak mengambil jalan tengah. Ia menyarankan film neorealisme Italia, yang menghibur tetapi kaya makna.



Film Ladri di Biciclette, yang diterjemahkan menjadi The Bicycle Thief (1948), dapat dikatakan sebagai pelopor film neorealisme Italia. Bahkan, Andre Bazin dalam tulisannya yang berjudul Neorealism and Pure Cinema¸ menyebut The Bicycle Thief sebagai film terbaik yang mewakili neorealisme Italia, yang berani keluar dari pakem Hollywood.



Sebagaimana film-film neorealisme lainnya, The Bicycle Thief tidak diperankan oleh aktor papan atas. Pemeran Antonio (Lambero Maggiorani) memang seorang pengangguran yang datang ke lokasi casting untuk mengantarkan anaknya. Sedangkan pemeran Bruno (Enzo Staiola) ditemukan Vittorio de Sica, sang sutradara, di sekitar lokasi syuting. Seolah-olah tidak ada acting dalam film ini. Lambero dan Enzo yang memerankan ayah-anak ini seperti berperan sebagai dirinya sendiri. Untuk menjalin chemistry ayah-anak, de Sica hanya memerintahkan Enzo untuk terus berjalan. Sebagai sutradara, ia tidak banyak mengarahkan.



Setali tiga uang dengan para aktor, setting yang dipakai pun tanpa polesan. Tidak ada bangunan yang sengaja dibuat.Film The Bicycle Thief menyuguhkan kenyataan kota Roma, Italia pada tahun 1948. Lantaran efisiensi biaya dan keterbatasan teknologi, pencahayaan murni tergantung pada matahari. Oleh karena itu, pengambilan gambar mayoritas di luar ruangan. Ada kalanya adegan dilakukan di dalam ruangan tetapi pada siang hari sehingga sinar matahari dapat masuk melalui jendela. Jika cermat, pasti Anda akan tergelak karena tidak ada malam di film ini. Para sineas Italia pada masa itu sepertinya masih kesulitan dengan pencahayaan buatan. Atau mereka justru sengaja? Alasannya semata-mata agar tidak mencederai konsep dasar neorealisme yang berpedoman pada kenyataan?



Realita terbentur teknologi. Warna-warni tak dapat dibingkai di film hitam putih ini. Namun, warna tidak menjadi soal. Karena The Bicycle Thief ialah film klasik. Patut dicatat bahwa tidak semua film kuno merupakan film klasik. Menurut Taufanny Nugraha, Menikmati Film Klasik, dalam koran Republika edisi Sabtu 9 Oktober 2010, film klasik hanyalah film yang selalu diapresiasi dan tak pernah basi. Lisabona Rahman, manager program Kineforum DKJ, berkata bahwa sebuah pintu lintas generasi dapat terbuka melalui film klasik. Dengan menonton film klasik, kita menjadi lebih kritis melihat masa kini, apakah kita mengalami kemajuan atau justru kemunduran.



Sepertinya perfilman dunia mengalami kemunduran yang sangat parah, bukan dari segi teknologi, tetapi dari segi cerita. Kompleksitas audio visual yang ditawarkan berbagai film Hollywood tak lantas mendaulatnya sebagai bentuk kemajuan. Toh cerita sederhana seputar pencuri sepeda saja masih lebih banyak diapresiasi daripada film-film mainstream. Banalitas kemiskinan yang diangkat mampu mengaduk-aduk emosi penonton. Terlebih, saat sang ayah menampar anaknya yang membiarkan pencuri sepedanya lolos. Lalu, saat sang ayah akhirnya putus asa dan memutuskan untuk mencuri sepeda juga. Sang anak menangis saat ayahnya hendak digiring ke polisi. Tangisan itu membuat pemilik sepeda iba dan mengurungkan niatnya untuk menjebloskan sang ayah ke dalam penjara. Ternyata, drama realita bisa sangat menyentuh. Tak heran jika program drama realita khas Helmi Yahya kini menghiasi televisi.



Sebagaimana film neorealisme yang merekam kenyataan dengan jujur, saya juga ingin jujur. Sebenarnya, setelah satu setengah jam berlalu, saya sangat mengantuk saat menonton film ini. Durasinya terlalu lama untuk jalan cerita yang sederhana. Apalagi, judulnya sama sekali tidak membantu. The Bicycle Thief, pencuri sepeda. Sejak awal saya sudah tahu bahwa akan ada sebuah sepeda yang dicuri. LOL.




Referensi:

Menikmati Film Klasik. Koran Republika edisi Sabtu 9 Oktober 2010.

http://majalahannida.multiply.com/reviews/item/3

http://bicarafilm.com/baca/2010/05/08/ladri-de-biciclette-nasib-para-pencuri-sepeda.html

0 komentar:

Posting Komentar