Rabu, 08 Desember 2010

Materi & Eksistensi dari Kolaborasi China-Hollywood

Dominasi Hollywood di kancah perfilman telah menimbulkan keresahan di kalangan sineas dunia. Film-film alternatif tentu diharapkan sebagai tandingan. Munculnya film-film Cina di pasar global menjadi angin segar. Dengan demikian, pasar akan kembali aktif sehingga industri film akan mengalami progresivitas.



Adegan-adegan kungfu khas Cina dianggap sebagai komoditas yang sangat menjual. Hollywood melihat peluang bisnis ini lantas menggaet Cina untuk bekerja sama dalam pembuatan berbagai film laga. Banyak aktor Cina yang bermain di film Hollywood seperti Jet Li, Bruce Lee, dan Jackie Chan. Bahkan aktris Cina seperti Lucy Liu pun tak luput dari bidikan para produser Hollywood. Lucy Liu bersama dua aktris populer Hollywood yaitu Drew Barrymore dan Cameron Diaz dipercaya sebagai pemeran utama dalam film Charlie’s Angels (2000, 2003).



Pembahasan tentang film Cina yang sukses menembus Hollywood tentu tak dapat dipisahkan dari film Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000). Film arahan sutradara Taiwan, Ang Lee, itu berhasil menembus ajang paling bergengsi di kancah perfilman dunia. Film ini merupakan film berbahasa asing pertama yang meraih sepuluh nominasi Oscar sekaligus film Asia pertama yang meraih nominasi Film Terbaik. Film yang dibintangi Chow Yun-Fat itu bahkan meraih empat piala Oscar untuk kategori Film Berbahasa Asing, Pengarahan Seni, Sinematografi, dan Musik Orisinal. Reuters menyebut kesuksesan Crouching Tiger, Hidden Dragon itu sebagai tanda awal penerimaan film Asia di Amerika Serikat.



Sebelumnya, warga Amerika Serikat pada umumnya kurang menyukai film berbahasa asing tetapi film berbahasa Mandarin itu justru bercokol di deretan box office. Film ini merupakan film berbahasa asing terlaris dengan mendekati nilai US$ 100 juta di box office Amerika Utara. Film Cina lainnya, Avatar (2009), bahkan berhasil menggeser Titanic (1997) sebagai film terlaris sepanjang masa. Pendapatan total dari seluruh negara untuk film karya James Cameron itu mencapai US$ 1,859 miliar pada penjualan Senin 25 Januari 2010, mengalahkan pendapatan total Titanic senilai US$ 1,843 miliar pada periode 1997-1998.



Kolaborasi dengan Hollywood tentu menghasilkan banyak keuntungan materi dan eksistensi. Namun percampuran budaya dengan barat itu tak luput dari konsekuensi. Kehadiran film Cina secara global menimbulkan ambiguitas identitas. Dalam artikel berjudul Transnational China and Hollywood-ized Chineseness: interventions and discontents, Kin-Yan Szeto memaparkan bahwa identitas Cina masih tertutup bayang-bayang Hollywood. Pemahaman tentang kungfu, yang jelas-jelas asli Cina, justru berasal dari perspektif barat. Hal ini lah yang kerap dikhawatirkan dari sebuah film transnasional.



Kekhawatiran itu terlalu berlebihan. Saya berharap banyak pada film-film Cina. Propaganda Hollywood harus mendapat tandingan yang sepadan. Film IP Man 2 (2010) menyerang Amerika Serikat secara terang-terangan. Dalam film tersebut, petinju Amerika dikisahkan sangat biadab dan kerap melecehkan seni bela diri Cina. Kalau bukan Cina, siapa lagi yang berani?




Sebuah ulasan dari artikel berjudul Transnational China and Hollywood-ized Chineseness: interventions and discontents, terarsip dalam http://www.ejumpcut.org/currentissue/SzetoChina/index.html

Referensi tambahan:

http://www.disctarra.com/main/main_news_info.aspx?nid=4335

http://www.antaranews.com/berita/1264547712/avatar-film-terlaris-sepanjang-masa

Jatuh Bangun Film Indonesia

Sebagai teks, film berkaitan dengan konteks. Pada jaman pendudukan Belanda, film digunakan sebagai eskapisme dari rutinitas kerja. Pada jaman pendudukan Jepang, film digunakan sebagai media propaganda. Film-film yang dibuat hingga tahun 1949 tersebut memang tidak bisa disebut sebagai film Indonesia sebab pembuatannya mengesampingkan kesadaran nasional (Biran, 2009: 45). Film Darah dan Doa (1950) besutan Usmar Ismail dapat dikatakan sebagai film pertama yang benar-benar mencerminkan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, hari pertama produksi film ini, 30 Maret, ditetapkan sebagai Hari Film Nasional Indonesia.



Selain Darah dan Doa, beberapa film Usmar yang lain―Enam Djam di Jogja (1951)―juga berbau perjuangan, sementara film Lewat Djam Malam (1954), menggambarkan Indonesia pasca merdeka. Menurut Asrul Sani, para sineas pada pascakemerdekaan berambisi membantu revolusi Indonesia melalui film (Imanjaya, 2006: 31). Para sineas ingin membuat film yang memiliki relevansi sosial budaya. Mereka tidak ingin film Indonesia dijadikan alat untuk lari dari kenyataan seperti pada saat penjajahan.



Aliran neorealisme asal Italia, diadopsi oleh film-film awal produksi Perfini tersebut. Konteks sosial politik Italia dan Indonesia pada saat itu sama-sama hancur lebur. Pasca fasisme dan perang menjadikan Italia babak belur dan melarat. Neorealisme pun merekam realita secara jujur. Kemiskinan, pengangguran, dan kesulitan ekonomi sehari-hari pun diangkat. Aliran ini tidak hanya mampu menguasai audiens tetapi juga mampu merepresentasikan jamannya. Faktor zeitgeist itu lantas tercermin dalam film-film Indonesia awal 1950-an.



Pada tahun 1955, Indonesia merayakan pemilu yang pertama setelah sepuluh tahun merdeka. Di tengah riuh rendah pemilu 1955, Usmar Ismail hadir dengan film bergenre komedi. Tidak tanggung-tanggung, film yang berjudul Tamu Agung ini menyabet gelar bergengsi sebagai film komedi terbaik Festival Film Asia 1956 di Hongkong (Imanjaya, 2006: 92). Meskipun tokoh tukang obat dalam film ini disebut-sebut sebagai parodi dari Soekarno, toh Tamu Agung lolos sensor.



Saat perfilman Indonesia mulai menggeliat, konflik ekonomi politik kembali meninabobokkannya. Dalam esainya yang berjudul Moments of Renewal: Alternative Ways of Viewing Indonesian Cinema, David Hanan menyebutkan dua periode kemunduran film Indonesia. Pertama, pada pertengahan tahun 1960-an. Konflik ekonomi politik menyebabkan penurunan produksi. Selama gejolak 30 September 1965, gudang-gudang berisi film-film yang dibuat oleh komunis dibakar atau sengaja dirusak (Biran, 2001: 225).



Meskipun demikian, pada 1970-an, film Indonesia sempat bangun sejenak dari tidurnya. Pada masa itu dikenal sebagai periode take off dari segi komersial. Generasi baru bermunculan. Mereka berusaha untuk membuat film berkualitas dan memiliki relevansi sosial dan tidak semata-mata mengikuti kaidah box office.



Sayangnya, pada 1990-an, perfilman Indonesia mengalami periode kemunduran kedua. Pada saat itu, televisi menjadi primadona. Selain itu, kontrol monopoli distribusi dan konsekuensi struktur yang berkaitan, menyebabkan penurunan jumlah film yang diproduksi dan penutupan berbagai tempat. Film Indonesia seakan menjadi tamu di negeri sendiri. Film-film asal Hollywood lah yang menjadi tuan rumahnya. Film Indonesia seakan mati suri.



Perfilman Indonesia hidup kembali dengan munculnya film musikal anak-anak Petualangan Sherina (2000). Kebangkitan film Indonesia besutan Riri Riza dan Mira Lesmana ini ditandai oleh antrean panjang penonton. Seolah ingin meniru kesuksesannya, banyak film bergenre serupa digarap seperti Joshua oh Joshua (2001). Genre lain yakni horor muncul pertama kali melalui film Jelangkung (2001). Lagi-lagi, para produser latah sehingga banyak film bergenre serupa. Setahun berselang, muncul era film remaja melalui Ada Apa dengan Cinta (2002). Film yang mempopulerkan Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra itu juga menjadikan film-film roman remaja bak cendawan di musim hujan.



Ukuran keberhasilan suatu film kerap diidentikkan dengan segi komersial. Padahal, film-film non komersial cenderung lebih bermutu baik dari segi tema, cerita, akting, maupun penggarapan. Buktinya film-film itu menyabet berbagai penghargaan bergengsi di luar negeri. Ironisnya, film-film itu kurang laku di pasaran domestik. Seharusnya yang bangga dengan film Indonesia itu kita, bukan mereka.



Ada baiknya para sineas Indonesia mengikuti pola pikir Hanung Bramantyo. Hanung berani keluar dari jalur. Ia membuat film yang berbeda dan awalnya dianggap tidak komersil. Tetapi buktinya Sang Pencerah (2010) justru laris di pasaran. Ironisnya, kuantitas dan kualitas Sang Pencerah tidak cukup untuk membuatnya masuk dalam nominasi FFI 2010. Apa harus pihak asing lagi yang mengakui?



Sebuah ulasan dari artikel berjudul Moments of Renewal: Alternative Ways of Viewing Indonesian Cinema, terarsip dalam http://upena.uitm.edu.my/publications/j02/j02_v2_2008/5.pdf



Referensi tambahan:

Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Imanjaya, Ekky. 2006. A to Z about Indonesian Film. Bandung: Penerbit DAR! Mizan.

Film Nasional: Tamu di Negeri Sendiri

“Generasi kita nggak mempan dikasih tulisan. Kita ini generasi who gets philosophy in the movie” ujar Annisa di film Cin(T)a. Dalam film indie besutan Sammaria Simanjuntak itu, Annisa, sang tokoh wanita dan Cina, sang tokoh pria, berdebat sengit. Menurut Annisa, memang demikian lah adanya generasi muda Indonesia. Dengan sinis, Cina membantah, “Ditulis saja lah, bikin film terlalu instan”. Namun realita lebih memihak Annisa.



Pemetaan kondisi menjadikan masalah teridentifikasi. Budaya instan telah menjadi biasa, mungkin karena dibiasakan. Alih-alih menganggapnya sebagai racun yang mematikan generasi bangsa, kenapa tidak dimanfaatkan saja sebagaimana yang dilakukan para sineas Rusia. “The cinema is the greatest medium of mass agitation”, Stalin beralasan.



Merujuk pada teori media Marxist, media tak hanya diartikan sebagai sarana penyebar informasi tetapi juga dikritisi sebagai lahan penanaman ideologi dominan (Littlejohn, 2008: 432). Sedangkan media yang paling hebat dalam indoktrinasi ideologi ialah film, paling tidak demikian menurut Stalin.



Teori ekonomi politik media yang berangkat dari pemikiran Vincent Mosco, menyoroti kepemilikan media. Selain menginginkan keuntungan material, tiap-tiap kelompok yang berkepentingan, dalam hal ini pemilik media, tentu berusaha menyebarkan ideologi masing-masing untuk mengukuhkan dominasinya. Ketika dominasi kepentingan pemilik media bergulir, terjadilah hegemoni, yang akan menjajah alam bawah sadar manusia.



Bahaya itu tampaknya mulai disadari. Bukan rahasia bahwa propaganda halus khas film Hollywood biasanya lebih mengena. Film nasional lah yang harus melawan gempuran film Hollywood. Sebab, film nasional bertanggung jawab terhadap representasi identitas nasional bangsa. Untuk itu, film nasional harus diproteksi.



Siasat yang muncul ke permukaan ialah dengan pembatasan kuota film impor. Hal itu dibahas dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada 1993, saat film Hollywood begitu mendominasi pasar perfilman dunia. Ide tersebut bukanlah yang pertama. Sebelumnya, berbagai asosiasi film di Kanada, Australia, Inggris, Perancis, dan Italia telah melakukan pembatasan kuota guna melindungi film nasional masing-masing.



Film nasional diharapkan menjadi tameng dari film-film Hollywood yang dianggap bertentangan dengan kultur bangsa. Namun beberapa akademisi yang mempelajari perfilman seperti Thomas Elsaesser, Stephen Crofts, dan Andrew Higson membantahnya. Menurut Elsaesser, Hollywood justru menjadi komponen utama pembentuk kultur film nasional. Sebab, banyak produser film domestik yang justru mengadaptasi film-film Hollywood ke dalam film-film nasional mereka.



Film hasil indigenasi yang sukses dan komersil tak lain ialah besutan sutradara berkebangsaan Perancis, Luc Besson. Melalui film Nikita (1990), The Professional (1994), dan The Fifth Element (1997), ia meraup keuntungan yang fantastis. Sayangnya, lantaran bersetting di New York, film indigenasi karya Besson menggambarkan Perancis yang abu-abu, seakan tertutup oleh bayang-bayang Hollywood. Masalah ini juga dialami sutradara berkebangsaaan Australia, Baz Luhrmann. Meskipun syutingnya dilakukan di Sydney, tetapi film Moulin Rouge (2001) justru menggambarkan suasana kota Paris.



Permasalahan yang dialami dua sutradara terkemuka di atas, ditanggapi oleh Higson. Pemahaman tentang film nasional selama ini hanya sebagai film-film yang menceritakan sebuah bangsa yang terbatas pada wilayah, masyarakat, dan tertutup dari identitas lain selain identitas nasionalnya (Higson, 2000: 66). Higson mengistilahkan film-film Besson dan film Moulin Rouge sebagai film transnasional, berdasarkan basis produksi dan distribusinya.



Seharusnya, kolaborasi dengan Hollywood tidak perlu dipermasalahkan. Justru itu akan semakin membuat film Indonesia eksis di mata dunia. Daripada meributkan tentang pembatasan kuota film impor, lebih baik terus menggarap film-film yang bermutu.



Apa jadinya jika film-film asing dibatasi lantas yang ada hanya film-film horor porno?



Film nasional Indonesia memang sudah saatnya jadi tuan rumah di negeri sendiri.



Tetapi, bersaing itu bukan dengan menutup jalan lawan kan? Bagaimana bisa bersaing jika hanya sendirian?




Sebuah ulasan dari artikel berjudul National Cinema, Political Economy, and Ideology, terarsip dalam http://www.filmreference.com/encyclopedia/Independent-Film-Road-Movies/National-Cinema-NATIONAL-CINEMA-POLITICAL-ECONOMY-AND-IDEOLOGY.html

Ini Bukan Sekedar

Si anak menteng tiba di Jakarta, kali ini sebagai presiden Amerika. Dalam pidatonya, Obama―untuk kesekian kalinya―memuji demokrasi di Indonesia. “Bhinneka Tunggal Ika, Unity in Diversity,” ujarnya berulang kali. Sorak sorai pun bergemuruh di seantero Balairung Universitas Indonesia. Obama memang notabene lebih populer dibandingkan presiden Austria, yang bertandang ke Indonesia pada saat yang sama. Alasannya, Obama kecil pernah tinggal di Menteng selama empat tahun. “Indonesia bagian dari diri saya,”demikian ujar Obama secara fasih dalam bahasa Indonesia. Saking fenomenalnya, penggalan pidato Obama itu menjadi judul berbagai artikel berita.



RT: @wisnu_prasetya: Seharusnya yang mengatakan “Indonesia bagian dari diri saya” itu kita, bukan Obama.



Sebuah kalimat yang pedas, dari seorang teman, yang membuat saya berpikir keras.



Sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa daerah di Indonesia merasa dianaktirikan oleh pemerintah yang jawasentris. Kekayaan alamnya dikeruk, hasilnya dibawa ke Jawa, sementara keuntungan yang mereka terima tidak seberapa. Paling tidak, itulah yang banyak dikeluhkan para putra daerah yang bersangkutan. Saya tidak tahu dengan pasti apa yang terjadi.



Untuk meredam amarah yang bergejolak, tidak cukup dengan pemberian status Daerah Istimewa. Penanganan konflik bersenjata dan bencana alam harus merata. Jika tidak, jangan salahkan jika mereka tidak merasa menjadi Indonesia, sebagaimana judul esai Raisa Kamila.



“Untuk apa mencintai negeri yang tidak mencintai kita?” saya pernah mendengar selentingan ini semenjak kecil, dari kakak saya, dan teringat kembali setelah membaca esai Raisa.



Apakah lantas mencintai tanah air dianggap tolol dan sia-sia?

Ibaratnya, cinta kita tak terbalas, hanya bertepuk sebelah tangan. Untuk apa diteruskan? Apa lebih baik kita segera mengurus green card dan menjadi warga negara Amerika, yang membuat rakyatnya sejahtera?



Ironis. Sebuah tayangan infotainment di televisi diberhentikan sementara oleh KPI lantaran mengangkat mitos-mitos seputar Merapi. Padahal, sebagaimana yang diucapkan dalang edan Sudjiwo Tedjo, masyarakat modern sebenarnya memiliki lebih banyak mitos. Demokrasi itu mitos. Bagaimana mungkin kebenaran diserahkan pada orang banyak?



Atas nama demokrasi, orang-orang mulai berani angkat bicara. Semua protes. Ini diprotes. Itu diprotes. Tentang hakekat cinta tanah air, banyak orang menolak simbol-simbol yang selama ini diagung-agungkan.



Menurut mereka, cinta tanah air tidak ada hubungannya sama sekali dengan upacara.

Seremonial semacam itu,sangatlah menyiksa bagi sebagian besar orang, terutama orang-orang seperti ini:

- RT @hawwinbf: aku nggak kangen upacara bendera, sumpah.

- RT @YL_meganusa: Flag ceremony has nothing to do with our nationalism. Trust me.

Hehe. Mengesampingkan fakta bahwa mereka adalah orang-orang terapatis yang pernah saya kenal dan berani mengumbar keapatisan mereka, tetapi pada kenyataannya, semua orang malas upacara bendera.



Apa buktinya masih kurang?

Tiap kali mahasiswa (dalam suatu organisasi) menerima undangan upacara, pasti berebut. Berebut bilang "Kamu saja ya yang datang!".



Bedanya, saat masih berseragam merah putih hingga abu-abu putih dulu, kita tidak punya pilihan lain. Kalau tidak berkenan tersengat matahari pagi, silahkan ngumpet di kolong meja. Atau ada alternatif yang lebih berkelas, pura-pura sakit lalu tidur dengan nyaman di UKS. Tapi pada kenyataannya, lebih banyak yang memilih untuk bergabung ke tengah lapangan. Ada dua kemungkinan: Pertama, ia memang sadar akan pentingnya upacara (entah lantaran menghormati jasa pahlawan atau demi menjaga muka di depan guru). Kedua, ia tidak punya keberanian untuk bersembunyi di kolong meja atau pura-pura sakit.



Sayangnya, suka tidak suka, jika berada dalam instansi pemerintah, mereka harus mengikuti upacara, menghapal lagu Indonesia Raya, dan mengingat kelima sila Pancasila. Jika tidak, orang-orang akan menganggapnya sebagai sebuah hal yang memalukan.



Cinta tanah air memang tidak sekedar berdiri beberapa jam di terik matahari.

Cinta tanah air memang tidak sekedar menghapal beberapa bait lagu.

Cinta tanah air memang tidak sekedar mengingat beberapa baris kalimat.



Tapi apa susahnya?

Kenapa sombong sekali?



Ini bukan tentang upacara, Indonesia Raya, dan Pancasila.



Sebelum merdeka, para pahlawan bertaruh nyawa untuk ‘sekedar’ mengibarkan sang merah putih dan mengumandangkan Indonesia Raya.



Sekarang, bisakah kita hapus kata ‘sekedar’?



Pepatah mengatakan, kalau ingin dicintai, kita harus mencintai terlebih dahulu. Cinta memang pamrih. Tidak ada cinta tulus di dunia kecuali cinta orang tua terhadap anaknya. Semuanya murni konflik kepentingan semata. Kenapa tidak dimanfaatkan saja?



Kritik itu tanda cinta, ada yang berdalih demikian. Tetapi jika kritik tidak disampaikan dengan benar, jangan-jangan ia justru membunuh secara perlahan.



Secara psikologis, kata-kata negatif yang diucapkan berulang kali akan menjadi sugesti. Lambat laun, ia akan pasrah, menerima nasib bahwa ia memang payah. Padahal Dahlan Iskan sudah menyadarinya sejak lama. Awalnya ia mengkritik Persebaya habis-habisan. Tapi tidak mempan juga. Akhirnya ia sokong spirit juang tim sepakbola Jawa Timur itu dengan menjulukinya Green Force. Ternyata hasilnya justru positif.



Kenapa kita tidak terinspirasi Panji Pragiwaksono, yang menjadikan cinta tanah air sebagai tren?

Kenapa kita tidak berhenti memberi judge kepada orang lain?



We’re just the same human that created by the same God.

Evaluation as right or wrong is only given by God.

People have no right on it.



P.S.: Hari Pahlawan dirayakan di kota Pahlawan, sebuah kombinasi yang sempurna.

Teks Menentukan Konteks

Sebuah pintu lintas generasi terbuka melalui film klasik. Pernyataan tersebut dilontarkan Lisabona Rahman, manager program Kineforum DKJ, dalam Menikmati Film Klasik, koran Republika edisi Sabtu 9 Oktober 2010. Dengan menonton film klasik, kita dapat menelisik perkembangan film, khususnya yang diproduksi pada kisaran tahun 1900-1950.



Film-film klasik yang menguasai jamannya masih menjadi rujukan para sineas hingga kini. Pertama, dalam hal teknologi. Kedua, dalam hal penguasaan audiens. Vintage, pemujaan terhadap sesuatu yang berasal dari masa lalu, menjadi tren di segala bidang, tidak hanya dalam dunia fashion tetapi juga dalam industri perfilman.



Apresiasi terhadap film-film klasik memang layak diberikan. Berpuluh-puluh dekade silam, para sineas dapat menguasai teknologi sedemikian rupa. The Battleship Potemkin (1925) dapat dikatakan sebagai pelopor editing film di dunia. Citizen Kane (1941) memperkenalkan teknik kilas balik yang semakin menegaskan keunggulan film dibandingkan teater panggung yang notabene saat itu masih menjadi primadona. Sementara The Bicycle Thief (1948) mengangkat realita dengan teknologi yang sederhana namun tetap bersahaja.



Kecanggihan teknologi di atas akan menjadi sia-sia jika pesan dalam film tidak tersampaikan. Maka dari itu, sebelum membuat film, para sineas selalu memperhitungkan tingkat intelektual dan psikologis penonton yang menjadi target. Menurut Giles dan Wiemann, teks mampu menentukan konteks, bukan sebaliknya teks menyesuaikan diri dengan konteks (Hamad, 2004: 14). Jadi, film, dalam hal ini dimaknai sebagai teks, tidak semata-mata menyesuaikan diri dengan konteks sosio kultural masyarakat pada jamannya. Alih-alih demikian, film lah yang menentukan konteks. Melalui teks, dalam hal ini tayangan audio visualnya, sebuah film dapat menguasai audiens dan mempengaruhi pola pikir, sikap, dan perilakunya.



Pola imitasi tersebut dapat dijelaskan oleh teori kultivasi. Ada sebuah prediksi bahwa tayangan kekerasan berkelindan dengan peningkatan perilaku agresif yang sesungguhnya (Severin dan Tankard, 2008: 339). Kekhawatiran tentang dampak paparan media telah dirasakan sejak awal perkembangan film melalui The Great Train Robbery (1903). Film besutan Edwin S. Porter itu mereka ulang adegan kekerasan perampokan kereta. Melalui film cerita pertama yang dibuat Amerika Serikat tersebut, timbul kesadaran akan kemampuan film dalam menyerang kognisi, afeksi, dan psikomotor audiens.



Kedahsyatan sebuah film disadari betul oleh Stalin, yang memegang tampuk kepemimpinan Rusia pada saat The Battleship Potemkin diproduksi. Setali tiga uang dengan rezim pendahulunya, Lenin, ia juga menaruh perhatian khusus terhadap film. Bahkan, ia mengintervensi film dengan lebih brutal. Ia sadar akan kedahsyatan film untuk menghasut massa. Harapannya, seusai menonton film ini, rakyat Rusia akan memihak Bolshevik, partai yang memimpin revolusi Rusia pada Oktober 1917.



Propaganda film-film klasik Rusia memang sangat kental. Namun, meskipun lebih tidak kentara, propaganda halus khas Hollywood biasanya lebih mengena. Rosebud, pesan kematian Kane, merupakan kata kunci yang mendukung dugaan bahwa sosoknya ada di dunia nyata yakni William Randolph Hearst. Berdasarkan Louis Pizzitola, penulis “Hearst Over Hollywood”, Rosebud adalah panggilan dari teman Hearst, Orrin Peck, yang diberikan kepada Ibu Hearst (Asdaru, 2008). Melalui film Citizen Kane, Orson Welles, sang sutradara sekaligus pemeran Kane, secara tersirat ingin menyampaikan bahwa meskipun kuat, sang raja media tersebut ‘cacat’.



Sebagai jalan tengah antara film propaganda Rusia dan film populer Hollywood, neorealisme Italia menjadi pilihan Bung Karno. Film-film neorealisme Italia semacam The Bicycle Thief mengangkat tema-tema kemiskinan yang dialami masyarakat kelas bawah Italia. Para sineas Italia menyerang emosi, bukan kognisi. Banalitas kemiskinan yang mengaduk-aduk emosi penonton sengaja disuguhkan demi meraih empati.



Bedanya dengan genre film klasik pendahulunya, neorealisme Italia tidak hanya mampu menguasai audiens tetapi juga mampu merepresentasikan jamannya. Faktor zeitgeist itu kemudian diadopsi oleh Usmar Ismail, pertama-tama melalui film Darah dan Doa (1950), untuk membuat film yang benar-benar mencerminkan kepribadian bangsa (Biran, 2009: 45). Oleh karena itu, hari pertama produksi film ini, 30 Maret, ditetapkan sebagai Hari Film Nasional Indonesia.



Referensi:

Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit.

Severin, Werner J. James W. Tankard. 2008. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Kencana.

Menikmati Film Klasik. Koran Republika edisi Sabtu 9 Oktober 2010.

http://asdaru.multiply.com/journal/item/13/sejarah_film

http://jikala.multiply.com/journal/item/2

http://komparatismedansinemasastra.wordpress.com/2009/06/22/realisme-dalam-sinema-neo-realisme-italia-dan-realisme-klasik-hollywood-agnes-karina-rosari/

http://pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/94019-9-587748537379.doc.

Pesan Kematian Kane

“Rosebud…”



Sepenggal kata itu lah yang bergulir dari bibir Charles Foster Kane di penghujung hidupnya. Ia meninggal dengan menyisakan tanya. Siapakah Rosebud? Atau apa itu Rosebud? Apakah itu adalah pesan kematian dari sang raja media?



Layaknya kisah-kisah detektif, investigasi pun dimulai. Bedanya, sosok yang berperan dalam pencarian makna Rosebud ialah Thompson, seorang jurnalis. Atas perintah atasannya, Thompson menggali informasi dari orang-orang terdekat Kane. Setiap wawancara yang dilakukan Thompson dengan para narasumber, menggunakan alur kilas balik. Bedanya dengan film-film modern, baik alur masa kini maupun masa lalu di film Citizen Kane (1941) ini sama-sama hitam putih. Jadi, kita harus memerhatikan dengan seksama jalan ceritanya.



Hingga akhir pencarian Rosebud, penonton seakan dibuat kecewa dengan nihilnya hasil. Alih-alih menemukan arti dari Rosebud, Thompson justru menguak jati diri Kane. Awalnya, Kane digambarkan sebagai sosok muda yang sempurna. Ia kaya, pintar, tampan, dan terkenal. Sebagai wanita, saya juga sempat terkesima dengan Kane yang tampak idealis. Bagaimana tidak? Ia menolak tawaran untuk mengelola sebuah tambang emas dan justru melirik New York Inquire, yang pada saat itu belum menjadi koran nomor satu di Amerika. Porsi idealis Kane bertambah besar saat ia menandatangani sebuah pernyataan bahwa New York Inquire akan memberitakan setiap peristiwa secara jujur.



Ironisnya, pernyataan tersebut menyerang balik dirinya di kemudian hari. New York Inquire menulis review tentang penampilan penyanyi opera, Susan Alexander Kane, istrinya, dengan sangat pedas. Ketika Kane berang, sang penulis artikel tersebut menyodorkan bukti otentik pernyataan Kane untuk memberitakan setiap peristiwa dengan jujur. Kane pun tercekat. Karakter protagonis yang sejak awal dibangun runtuh seketika.



Kane menjelma menjadi pribadi yang sangat menyebalkan. Ia jadi terlihat sangat otoriter dan keras kepala. Istrinya pun menjadi korban. Susan dipaksa untuk terus menyanyi meskipun jelas sekali ia adalah seorang penyanyi opera yang parah. Pada saat Susan hendak meninggalkan Kane, Kane sempat memohon agar Susan tetap tinggal. Sayangnya gumaman Kane “You can’t do this to me”, membuat Susan yakin bahwa sikap otoriter Kane sudah tidak dapat ditolerir. Kane memaksa orang untuk melakukan apa yang ia mau. Kane juga memaksa orang berpikir seperti yang ia mau. Orson Welles, sang sutradara sekaligus pemeran Kane, membangun karakter Kane dengan abu-abu. Demikianlah manusia. Tidak mungkin ia seratus persen baik begitu pula sebaliknya. Penggambaran sosok Kane sangat manusiawi.



Selain karakterisasi yang menurut saya sangat brilian, teknik flash back yang dipilih juga ciamik. Pada masa itu, jalan cerita kilas balik susah untuk dibayangkan. Ide yang hingga kini menginspirasi film-film modern. Bedanya, di film modern, alur masa kini divisualisasikan dengan berwarna sedangkan alur masa lalu hitam putih. Alur kilas balik ini juga menegaskan keunggulan film dibandingkan teater panggung yang notabene saat itu masih menjadi primadona.



Teknik flash back tentu ditunjang oleh sinematografi yang sangat cerdas. Gregg Toland sangat paham cara penempatan kamera dan pengambilan gambar. Tata cahaya dan lensa yang ia gunakan menghasilkan kedalaman fokus gambar. Tak heran jika The American Film Institute mendaulat film ini sebagai 100 film terbaik.



Secara pribadi, saya sangat menyukai film ini atas berbagai alasan. Pertama, Citizen Kane berbau pers dan investigasi. Kedua, karakter Kane abu-abu. Ketiga, ada indikasi bahwa Kane menyimpan duka masa kecil yang membekas dan berpengaruh terhadap pembentukan kepribadiannya. Sebagaimana quote teori Chaos yang ada di awal film Hollywood favorit saya, The Butterfly Effect, “It has been said that something as small as the flutter of a butterfly's wing can ultimately cause a typhoon halfway around the world”.



Rosebud ternyata sebuah kata pada papan seluncur ski Kane di masa kecil. Sayangnya, tidak ada seorang pun yang tahu karena pada akhirnya papan itu dibakar. Papan ski bertuliskan Rosebud itu ia mainkan di hari terakhir kebersamaannya dengan ibunya. Agar kaya raya, ia dipaksa berpisah dengan ibu yang sangat dicintainya. Ia memendam amarah dan kekecewaan mendalam sedari kecil. Ia pun membalas kekecewaannya itu dengan bekerja keras hingga dapat membangun Xanadu yang sangat megah. Sikap keras kepalanya juga tak dapat disalahkan. Pada saat kanak-kanak, ia tidak diberi kebebasan untuk memilih. Pada saat dewasa, ia membalasnya dengan memaksa orang lain melakukan sesuatu tanpa memberi mereka kebebasan untuk memilih.



Sosok Kane diduga ada di dunia nyata, yakni William Randolph Hearst. Isu yang beredar, Rosebud ialah panggilan Hearst kepada istrinya, Marion. Ibu Marion bernama Rose. Berdasarkan Louis Pizzitola, penulis “Hearst Over Hollywood”, Rosebud adalah panggilan dari teman Hearst, Orrin Peck, yang diberikan kepada Ibu Hearst (Asdaru, 2008).



Entahlah. Orang-orang hanya bisa menduga-duga. Dan hingga kini, Rosebud masih menjadi misteri.




Referensi:

http://asdaru.multiply.com/journal/item/13/sejarah_film

Rekonstruksi Pendukung Revolusi

“The cinema is the greatest medium of mass agitation” Stalin



Pasca revolusi Oktober 1917, Rusia hancur lebur. Perang mengakibatkan penderitaan berkepanjangan. Panji Wibowo dalam artikelnya yang berjudul Gairah Mencipta di Negeri (tanpa) Sensor, mengatakan bahwa 160 juta rakyat Rusia dilanda kemiskinan, lebih dari setengahnya buta huruf. Untuk memulihkan keadaan dengan cepat, pemerintah yang berkuasa saat itu, Lenin, memilih film sebagai media propaganda. Secara logika, untuk memahami film tidak perlu kemampuan baca tulis. Lagipula, film dapat menjangkau seluruh rakyat Rusia yang tersebar di wilayah yang sangat luas.



Semenjak kematian Lenin pada 1924, tampuk pemerintahan beralih pada Stalin. Namun hal itu tak lantas menjadikan pemerintah abai terhadap perfilman. Stalin justru mengintervensi film dengan lebih brutal. Ia sadar akan kedahsyatan film untuk menghasut massa. Pada masa pemerintahannya, film The Battleship Potemkin (1925) diproduksi. Film yang disutradarai oleh Sergei Eisenstein ini merekonstruksi ulang pemberontakan awak kapal perang Potemkin terhadap pemerintah Tsar pada 1905.



Dalam film bisu hitam putih ini, pemerintah Tsar digambarkan dengan sangat kejam. Seorang ibu yang memohon belas kasihan serdadu Tsar lantaran anaknya sakit keras tak digubris sedikit pun. Bahkan, serdadu Tsar menembak sang ibu yang sedang menggendong anaknya itu. Sontak saja, serdadu Tsar bakal menuai caci. Sedangkan para pelaut Potemkin akan meraih simpati. Harapan pemerintah, seusai menonton film ini, rakyat Rusia akan memihak Bolshevik, partai yang memimpin revolusi saat itu.



Sebagaimana film-film klasik Rusia pada umumnya, film yang dipersembahkan untuk memperingati 20 tahun revolusi ini, sarat propaganda. Sejak awal, film ini dibuka dengan teks yang sangat provokatif, “Revolution is war. Of all the wars known in history. It is the only lawful, rightful, just, and truly great war. In Russia, this war has been declared and begun”. Kutipan pernyataan Lenin pada tahun 1905 itu menegaskan bahwa perang ialah satu-satunya jalan untuk mencapai revolusi.



Tak ketinggalan, ideologi komunis Marxist khas Bolshevik, pun disusupkan. Seorang pekerja kapal membuang piring bertuliskan Give us today our daily bread, yang merupakan penggalan doa Katolik “Bapa Kami”. Bahkan, seorang pendeta―berjenggot putih panjang bak santa claus dan memegang salib dijadikan bulan-bulanan. Alih-alih mematuhi nasehat pendeta untuk tidak melakukan kekerasan, seorang pelaut justru menendangnya. Sang pendeta pun pura-pura meninggal lantaran takut dibunuh. Harap maklum, komunisme yang dianut oleh rezim yang berkuasa di Rusia memang menganggap agama sebagai penghambat revolusi.



Terlepas dari propagandanya yang digambarkan dengan sangat ‘kasar’, Eisenstein terbilang sangat brilian. Tak ayal jika film ini berhasil menyabet gelar The Greatest Film of All Time dalam Brussel’s World Fair 1958. Hal yang banyak dipuji dari film ini ialah teknik editingnya yang menawan. Dapat dikatakan bahwa film ini adalah pelopor editing film di dunia. Montage dalam film Rusia sangat khas. Sementara editing hanyalah bagian kecil dari montage. Eisenstein memperkenalkan jenis baru montage yakni collision (Wibowo, 2006). Prinsip dasarnya ialah dengan menubrukkan dua gambar yang berbeda agar memberikan makna yang baru. Perguliran cerita tidak terbatas pada temporal melainkan spasial. Intelectual montage dari Eisenstein menyerang kognisi sehingga audiens lebih aktif dalam memahami film.



Peran serta pemerintah Rusia lah yang memajukan industri perfilman Rusia. Semenjak Lenin berkuasa, sekolah-sekolah film didirikan. Eisenstein ialah salah satu murid yang dididik sekolah film Rusia. Akses film pun menjadi mudah karena harganya murah sehingga seluruh rakyat dapat menikmatinya (Wibowo, 2006). Alangkah baiknya jika pemerintah Indonesia berlaku sama, dengan mendukung sineas-sineas Indonesia. Alih-alih demikian, pemerintah Indonesia justru ‘meniru’ intervensinya, misalnya dengan melarang pemutaran film Balibo.



Seharusnya kita malu. Puluhan tahun yang lalu, dengan keterbatasan teknologi dan maraknya intervensi, para sineas Rusia dapat menghasilkan film yang sangat berkualitas.




Referensi:

http://jikala.multiply.com/journal/item/2

Neorealisme Italia: Jalan Tengah Perfilman Dunia

Berani Keluar dari Mainstream Hollywood



Usmar Ismail, tokoh perfilman Indonesia, sempat berdialektika dengan Presiden Soekarno tentang film. Usmar meminta Bung Karno memilih antara film Rusia (kurang populer tetapi sarat propaganda) dan film Hollywood (populer tetapi mengandung propaganda halus). Bagi Bung Karno, kedua genre film tersebut tidak sesuai dengan revolusi Indonesia. Sang proklamator kemerdekaan RI itu sontak mengambil jalan tengah. Ia menyarankan film neorealisme Italia, yang menghibur tetapi kaya makna.



Film Ladri di Biciclette, yang diterjemahkan menjadi The Bicycle Thief (1948), dapat dikatakan sebagai pelopor film neorealisme Italia. Bahkan, Andre Bazin dalam tulisannya yang berjudul Neorealism and Pure Cinema¸ menyebut The Bicycle Thief sebagai film terbaik yang mewakili neorealisme Italia, yang berani keluar dari pakem Hollywood.



Sebagaimana film-film neorealisme lainnya, The Bicycle Thief tidak diperankan oleh aktor papan atas. Pemeran Antonio (Lambero Maggiorani) memang seorang pengangguran yang datang ke lokasi casting untuk mengantarkan anaknya. Sedangkan pemeran Bruno (Enzo Staiola) ditemukan Vittorio de Sica, sang sutradara, di sekitar lokasi syuting. Seolah-olah tidak ada acting dalam film ini. Lambero dan Enzo yang memerankan ayah-anak ini seperti berperan sebagai dirinya sendiri. Untuk menjalin chemistry ayah-anak, de Sica hanya memerintahkan Enzo untuk terus berjalan. Sebagai sutradara, ia tidak banyak mengarahkan.



Setali tiga uang dengan para aktor, setting yang dipakai pun tanpa polesan. Tidak ada bangunan yang sengaja dibuat.Film The Bicycle Thief menyuguhkan kenyataan kota Roma, Italia pada tahun 1948. Lantaran efisiensi biaya dan keterbatasan teknologi, pencahayaan murni tergantung pada matahari. Oleh karena itu, pengambilan gambar mayoritas di luar ruangan. Ada kalanya adegan dilakukan di dalam ruangan tetapi pada siang hari sehingga sinar matahari dapat masuk melalui jendela. Jika cermat, pasti Anda akan tergelak karena tidak ada malam di film ini. Para sineas Italia pada masa itu sepertinya masih kesulitan dengan pencahayaan buatan. Atau mereka justru sengaja? Alasannya semata-mata agar tidak mencederai konsep dasar neorealisme yang berpedoman pada kenyataan?



Realita terbentur teknologi. Warna-warni tak dapat dibingkai di film hitam putih ini. Namun, warna tidak menjadi soal. Karena The Bicycle Thief ialah film klasik. Patut dicatat bahwa tidak semua film kuno merupakan film klasik. Menurut Taufanny Nugraha, Menikmati Film Klasik, dalam koran Republika edisi Sabtu 9 Oktober 2010, film klasik hanyalah film yang selalu diapresiasi dan tak pernah basi. Lisabona Rahman, manager program Kineforum DKJ, berkata bahwa sebuah pintu lintas generasi dapat terbuka melalui film klasik. Dengan menonton film klasik, kita menjadi lebih kritis melihat masa kini, apakah kita mengalami kemajuan atau justru kemunduran.



Sepertinya perfilman dunia mengalami kemunduran yang sangat parah, bukan dari segi teknologi, tetapi dari segi cerita. Kompleksitas audio visual yang ditawarkan berbagai film Hollywood tak lantas mendaulatnya sebagai bentuk kemajuan. Toh cerita sederhana seputar pencuri sepeda saja masih lebih banyak diapresiasi daripada film-film mainstream. Banalitas kemiskinan yang diangkat mampu mengaduk-aduk emosi penonton. Terlebih, saat sang ayah menampar anaknya yang membiarkan pencuri sepedanya lolos. Lalu, saat sang ayah akhirnya putus asa dan memutuskan untuk mencuri sepeda juga. Sang anak menangis saat ayahnya hendak digiring ke polisi. Tangisan itu membuat pemilik sepeda iba dan mengurungkan niatnya untuk menjebloskan sang ayah ke dalam penjara. Ternyata, drama realita bisa sangat menyentuh. Tak heran jika program drama realita khas Helmi Yahya kini menghiasi televisi.



Sebagaimana film neorealisme yang merekam kenyataan dengan jujur, saya juga ingin jujur. Sebenarnya, setelah satu setengah jam berlalu, saya sangat mengantuk saat menonton film ini. Durasinya terlalu lama untuk jalan cerita yang sederhana. Apalagi, judulnya sama sekali tidak membantu. The Bicycle Thief, pencuri sepeda. Sejak awal saya sudah tahu bahwa akan ada sebuah sepeda yang dicuri. LOL.




Referensi:

Menikmati Film Klasik. Koran Republika edisi Sabtu 9 Oktober 2010.

http://majalahannida.multiply.com/reviews/item/3

http://bicarafilm.com/baca/2010/05/08/ladri-de-biciclette-nasib-para-pencuri-sepeda.html

Selasa, 07 September 2010

(Everlasting) Awaiting Friend Confirmation

Tadi malam, aku sama sekali tak memikirkanmu. Bahkan, aku mungkin telah benar-benar lupa akan kepergianmu.

Tapi aku punya alasan untuk lupa. Aku tidak pernah bertemu denganmu. Aku hanya mengenalimu dari foto Facebook-mu, yang telah aku add, dan dan tidak mungkin terkonfirm.

Anehnya, pagi ini aku bisa memimpikanmu, dan saat kuterjaga, bahkan hingga aku menulis tentang mimpiku ini, aku masih ingat setiap detailnya.

Aku masih ingat setiap kata-katamu. Kata per kata.
Aku masih ingat kerutan di keningmu.
Aku masih ingat tatapan matamu.
Aku masih ingat senyumanmu.
Bahkan aku masih ingat genggaman tanganmu.

...yang saat itu hanya untukku.
Namun seketika wanita itu hadir. Lalu kamu memeluknya. Pikirku saat itu. Aku cemburu. Pantaskah aku? Dan ternyata kamu hanya terlalu dekat saat membauinya. "Wangi minyak putih,"gumammu setelah itu.
Kalau boleh memilih, aku ijinkan kamu bersanding dengan wanita itu, wanita yang ada bersamamu di dunia nyata, tidak hanya di mimpi sepertiku. Wanita yang menangis tersedu-sedu sejak sejam sebelum kepergianmu, hingga kini. Sedangkan aku saat itu, justru tertawa-tawa, bersama teman-temanku. Bukan menertawakan keadaanmu, sungguh. Itu karena aku tidak mengenalmu. Itu karena kukira kau akan bangun. Itu karena kukira kita akan berkenalan. Namun Tuhan berkehendak lain.
Dan aku juga menangis, terisak-isak, di kamarku, atas kepergianmu. Sungguh aneh. Kau bahkan tidak tahu aku ada di dunia ini, untuk apa aku peduli? Tapi aku toh menangis juga.
Pada mimpiku ini, kamu kuanggap sebagai kakakku, yang sangat baik. Tapi, jika terngiang candamu padaku, "Setelah ini kita jadian?", serta kerlingan nakal di matamu, aku jadi serakah. Aku ingin kamu ada. Aku ingin tidur lebih lama, sehingga kita bisa bersama-sama.



...Saat aku membuka profil FB-mu untuk mendapat fotomu, kalimat itu tetap sama: awaiting friend confirmation...
Doaku selalu menyertaimu, mas Kahai.

Minggu, 15 Agustus 2010

The Sorry in Me

I'm sorry God! to keep crying sometimes, although U always give me all that I want.
I'm sorry my parents, to make u sad, shy, and disappointed. That I can't make u proud again.
I'm sorry my brother, to make u so hard to help me, to make our parents believe in me and my choice.
I'm sorry my old friends, to leave u just like this. I hate goodbye. And it isn't goodbye so see ya.
I'm sorry my new friends, to not be honest with u. But you'll know by your self then. Don't worry.
I'm sorry my secret admirer, to not give u a chance before, sorry to hurt u, I don't mind to hurt u.
I'm sorry my untouchable love, to not spend my times again to think about u. I'll try.
I'm sorry my target operation, but I think you're not so worth it anymore, I just hate what u do.

sorry for all of u,
I'm just human...have a lot of mistakes, so please forgive me.

(bukan) BOLA



digelindingkan jika merepotkan

dioper jika mengganggu

ditendang jika mencerca

dilempar jika melawan

dibuang jika membahayakan

...padahal saya bukan bola

Faktor X

Kenapa tidak Y?
Jika aku punya Y...
aku tidak akan selalu menjadi objek
aku tidak akan dilecehkan
aku tidak akan terlalu banyak merasa

Yang kupunya hanyalah X
Faktor X itu lah yang mengendalikan emosiku
Aku memang hanya punya X, tapi apa aku harus diam?
Orang tuaku saja tidak melarang
Kenapa struktur begitu membelenggu kebebasan?

Maka aku pun berpikir...
Mungkin aku tdk akan tahan bekerja di mana pun
Karena aku lebih sering berkata tidak
Maafkan aku, bukannya mencari alasan,
itu semua karena aku tidak punya Y

Perempuan Punya Derita

Di dalam buku yang berjudul The Girls of Riyadh,
Rajaa al-Sanea menceritakan kisah nyata keempat sahabatnya di Riyadh yang bernama Qamrah El Qashmany, Shedim El Harimly, Lumeis Jadawy, dan Michelle El Abdul Rahman. Keempat sahabatnya itu, masing-masing memiliki kisah yang dapat dikaji berdasarkan proses berpikir yang berkembang di lingkungan mereka dalam memandang perempuan dan segala problematikanya.

Kisah yang pertama adalah tentang Qamrah El Qashmany. Qamrah menikah dengan Rasyid melalui prosesi perjodohan. Dengan terpaksa, keduanya memenuhi keinginan orang tua masing-masing. Pada akhirnya, Rasyid berselingkuh dan melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap Qamrah, lalu Qamrah menjadi seorang janda dan membesarkan anaknya seorang diri. Di Riyadh, perjodohan merupakan hal yang biasa terjadi. Menurut adat yang berlaku di sana, perempuan tidak memiliki hak apapun untuk menolak perjodohan. Sejak kecil, mereka diajarkan bahwa perintah orang tua adalah sesuatu yang harus dituruti, sekalipun itu adalah perjodohan. Seorang anak perempuan mulai belajar mengenai apa yang harus dipatuhi dari perlakuan orang lain di sekitarnya terhadap anak perempuannya. Ketika ia melihat bahwa seorang perempuan tidak diperbolehkan untuk memilih pasangannya sendiri, ia pun melakukan hal yang sama. Di dalam benaknya, terpatri pemahaman bahwa seorang perempuan memang tidak memiliki hak untuk memilih pasangannya sendiri karena orang tua lebih berkompeten untuk memilihkan jodoh baginya. Perempuan-perempuan itu mengenali kedudukannya dengan melakukan sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat. Inilah yang disebut dengan pemahaman kinestetis, yaitu pemahaman yang dipelajari dari berbuat. Dalam hal ini, pemahaman dipengaruhi oleh keadaan sosio-kultural di sekitarnya.

Kisah yang kedua adalah tentang Shedim El Harimly. Shedim menyerahkan keperawanannya kepada Walid, tunangannya. Tragisnya, Walid meninggalkan Shedim setelah malam pertama pra nikah itu. Berpalingnya Walid ini mungkin dikarenakan pandangannya terhadap Shedim berubah semenjak malam pertama itu. Walid mencapai pemahaman ikonis, yang diperolehnya melalui pengalamannya yang menunjukkan kesamaan dan generalisasi. Di Riyadh, perempuan yang menyerahkan keperawanannya sebelum menikah dianggap bukan perempuan baik-baik. Berdasarkan kejadian yang Walid alami maupun saksikan, Walid menjadi yakin bahwa Shedim adalah bukan perempuan baik-baik. Beberapa waktu berselang, Shedim menjalin hubungan dengan Faraz. Menjelang pernikahan mereka, Shedim menceritakan masa lalunya dengan Walid kepada Faraz. Kejadian tragis kembali menimpa Shedim. Faraz meninggalkannya dan menikah dengan perempuan lain. Di Riyadh, keperawanan adalah simbol kesucian perempuan yang harus dijaga hingga ia menikah. Hilangnya keperawanan Shedim, secara simbolis, merupakan nilai minus bagi Faraz.

Kisah yang ketiga adalah tentang Lumeis Jadawy. Lumeis memilih untuk menentukan pasangannya sendiri, yaitu Ali. Namun, mereka harus berpisah karena perbedaan aliran yang dianut oleh keluarga masing-masing. Keluarga Ali adalah penganut aliran Syiah, sedangkan keluarga Lumeis adalah penganut aliran Sunni. Di Riyadh, menikah antara penganut aliran Syiah dan Sunni memang tidak lazim terjadi. Menurut adat yang berlaku di sana, perbedaan aliran merupakan hal prinsipil sehingga pemeluk aliran yang berbeda ‘dilarang’ untuk menikah. Sejak kecil, anggota keluarga mereka diajarkan bahwa pernikahan beda aliran itu ‘dilarang’. Ketika mereka melihat bahwa orang-orang di sekitarnya tidak ada yang melakukan pernikahan antara Syiah dan Sunni, mereka pun melakukan hal yang sama, dengan melarang hubungan Lumeis dan Ali. Inilah yang disebut dengan pemahaman kinestetis, yaitu pemahaman yang dipelajari dari berbuat. Dalam hal ini, pemahaman dipengaruhi oleh keadaan sosio-kultural di sekitarnya.

Kisah yang keempat adalah tentang Michelle El Abdul Rahman. Michelle harus mengakhiri hubungannya dengan Faishal karena calon mertuanya tidak berkenan dengan ibu Michelle yang keturunan Amerika Serikat. Mendengar kata Amerika Serikat, maka orang tua Faishal mengaitkannya dengan beberapa konsep yang disimbolkan dengan kata-kata seperti: negara pendukung Yahudi, pencipta ‘teror’ di Irak, bebas di luar batas ketimuran, dan lain sebagainya. Ini artinya, orang tua Faishal memperoleh pemahaman negatif mengenai Amerika Serikat secara simbolis. Beberapa waktu berselang, Michelle pindah kuliah ke Amerika Serikat dan menjalin hubungan dengan Matthew, yang beragama Nasrani. Kali ini, penentangan datang dari keluarga Michelle. Di Riyadh, pernikahan beda agama dilarang, terutama bagi pemeluk agama Islam. Sejak kecil, mereka diajarkan bahwa pernikahan beda agama adalah hal yang mendatangkan dosa. Ketika mereka melihat bahwa orang-orang di sekitarnya tidak ada yang melakukan pernikahan beda agama, mereka pun melakukan hal yang sama, dengan melarang hubungan Michelle dan Matthew.

Dengan menelaah kisah keempat perempuan Riyadh di atas, bukalah mata, hati, dan telingamu sehingga tidak memberi penilaian buruk terlalu cepat kepada mereka. Perempuan-perempuan ini penuh derita, yang disebabkan oleh pemahaman kinestetis, ikonis, dan simbolis yang terkadang keliru dari orang-orang di sekitar mereka. Mereka adalah korban dari minimnya proses berpikir orang-orang di sekitar mereka dalam memutuskan apa yang harus mereka lakukan dan apa yang tidak boleh mereka lakukan. Seharusnya, berbagai persoalan yang dialami oleh perempuan-perempuan di atas jangan ditinjau dari satu cara berpikir saja, tetapi secara bertahap, yaitu dimulai dari kinestetis, ikonis, lalu simbolis. Lihatlah lebih dekat, rasakan lebih dalam, dan dengarlah lebih seksama. Maka derita itu akan sirna.

Jerman 091189

Awal ketertarikanku terhadap Jerman adalah karena Panser (timnas sepakbola Jerman), Schumacher, dan Vettel tentunya. Lalu, aku sangat tertarik untuk mempelajari bahasanya. Namun, karena suatu hal, aku masih belum bisa memenuhi keinginanku itu. Untuk memuaskan dahagaku akan bahasa Jerman, aku putuskan untuk menonton film-film berbahasa Jerman yang diputar di taman budaya dan LIP Yogyakarta oleh Goethe-Institut bekerja sama dengan KINOKI/Taman Budaya Yogyakarta dan LIP (Lembaga Indonesia Perancis).

Untuk memperingati runtuhnya tembok berlin, Goethe-Institut memutarkan film-film yang bersetting sekitar runtuhnya tembok Berlin. Tembok berlin runtuh tanggal 9 November 1989, 20 tahun yang lalu.
Apa yang membuat rakyat Jerman bersatu padu merobohkannya?! Hal-hal yang terjadi saat perbatasan itu masih ada tentu yang menjadi penyebabnya. Lalu, bagaimanakah setelah mereka bersatu? Dua film yang aku tonton, Das Leben der Anderen dan Goodbye Lenin, menjadi sumber referensiku.

Film yang pertama yaitu Das Leben der Anderen, bercerita tentang kondisi di Jerman Timur saat tembok Berlin masih berdiri. Saat itu, di Jerman Timur gencar dilakukan penyadapan di mana-mana. Oknum-oknum politik tertentu, terutama kalangan partai yang paling berkuasa (di film ini, namanya Stasi), melakukan penyadapan kepada orang-orang yang dicurigai menentang pemerintah. Setiap tingkah laku dan percakapan langsung maupun telepon, dicuri dengar, lalu didokumentasikan (saat itu dengan menggunakan mesin ketik). Saat itu, sangat berbahaya berkomunikasi di dalam rumah dan melalui telepon, lebih baik cari tempat di luar rumah saja. Tentunya, aksi protes dan pemberontakan yang terekam, langsung ditindak dan pelakunya dijebloskan di penjara, dengan interogasi 48 jam yang sangat tidak manusiawi. Interogasi tanpa mengenal batas itu biasanya membuahkan hasil. Bahkan, pasangan yang sangat setia pun bisa menyerah dan membocorkan rahasia pasangannya. Tentu dengan sangat menyesal, lalu ia pun bunuh diri. Tragedi bunuh diri sangat ditutup-tutupi saat itu. Menulis tentang jumlah orang yang bunuh diri akibat tertekan oleh oknum-oknum tertentu, langsung diseret ke penjara. Saat tembok Berlin runtuh, kebebasan menulis bangkit kembali. Sang tokoh menjadi penulis terkenal, dan menulis buku khusus untuk sang penyadap, yang baik hati, HGW XX. Untuk HGW XX, aku juga salut atas pengorbananmu. Kamu orang baik.

Film yang kedua yaitu Goodbye Lenin. Setting yang diambil adalah ketika tembok Berlin sudah dirobohkan. Namun, demi kesehatan seorang ibu, sang anak mati-matian mengkondisikan seolah-olah tembok itu masih berdiri. Ia ingin ibunya tahu penyatuan Jerman secara perlahan, agar tidak terkena serangan jantung kembali. Penyatuan Jerman memang bisa membuat shock. Banyak pekerja Jerman Timur yang tiba-tiba ‘pensiun’. Kebebasan berekspresi, berbusana, tayangan televisi, marak terjadi. Namun perlahan sang ibu tahu dan meninggal dengan tersenyum. Betapa indahnya ketika abunya diterbangkan bersama ‘roket’ dan meluncur ke langit menjadi kembang api. Perdamaian memang indah.


P.S.: Tembok yang berdiri lebih dari 40 tahun akhirnya runtuh juga.

Aku Ingin Dikorbankan

Aku tidak tahu, apakah harus lega atau merana, dengan kepindahanku ini. Aku pergi meninggalkan kediaman lamaku. Walaupun tidak bisa disebut sebagai rumah, tetapi aku sudah cukup nyaman tinggal di sana. Tanahnya yang selalu becek, penuh sampah berserakan, dan terkadang dipenuhi cacing-cacing, tidak menjadi suatu masalah bagiku. Nyatanya, aku bahkan tidak pernah mengenakan alas kaki di tanah seperti itu.

Belum cukup dengan kondisi tanahnya yang memprihatinkan, ‘rumahku’ yang dulu juga tak beratap. Dengan demikian, aliran air yang turun dari langit pasti langsung mengenai tubuhku. Aku tidak habis pikir, mengapa akhir-akhir ini selalu hujan, bahkan beberapa kali dalam sehari. “Oh, udan terus, Lek. Wes November yo, mongso rendeng” (Oh, hujan terus, Lek. Sudah November ya, musim penghujan) keluh seorang wanita paruh baya, mengenakan kebaya kuno, rambutnya tergelung, yang badannya bau sekali.

Sebenarnya, bau badan wanita itu hanyalah sebagian kecil penyumbang bau yang tak karuan di ‘rumahku’ itu. Sudah aku katakan sebelumnya, bahwa banyak sampah yang berserakan di tanah. Selain itu, banyaknya manusia beserta keringatnya, tentu saja turut berkontribusi terhadap bau yang menjengkelkan di ‘rumahku’. Namun aku tahu diri. Aku sadar bahwa tubuhku pasti jauh lebih bau daripada bau apa pun juga. Untuk itulah, aku tidak pernah sekali pun berusaha mengatasi bau-bauan itu dengan menutup hidungku. Hmm…Seandainya aku kebauan, aku juga hanya bisa pasrah. Bagaimana bisa, aku menutup hidungku menggunakan tangan? Aku tidak punya tangan.

Tampaknya tangan bukanlah hal yang penting bagiku. Tanpa tangan, hidupku sangatlah normal. Aku tak bisa membayangkan jika aku mempunyai sepasang tangan, lalu orang-orang akan mengerumuniku, memotret-motretku tanpa ijin, dan terus mengamatiku dengan takjub, hingga aku pun jengah. Oleh karena itu, aku sangat bersyukur karena aku hanya punya kaki.

Rasa syukurku bertambah ketika seorang lelaki paruh baya membawaku pergi dari ‘rumahku’ itu. Kami berjalan berdampingan. Dalam artian, aku ada di sampingnya. Tetapi jangan terburu-buru untuk menafsirkan bahwa kami bergandengan tangan atau semacamnya. Ingat, aku tidak punya tangan. Karena itulah, ia tidak bisa menggandengku. Dan aku tahu, ia tidak mempercayaiku sama sekali. Ia pasti khawatir bahwa aku akan lari, jika ia tidak berhati-hati. Maka ia mengalungiku dengan sebuah tali berwarna hijau. Ia mencengkeram erat tali itu. Padahal aku tidak berniat sedikit pun untuk lari. Aku masih sangat lelah.

Benar rupanya, lelahku sudah di ambang batas. Aku tidak sadar berapa lama aku memejamkan mata. Tiba-tiba saja, semburat sinar mentari pagi memasuki celah-celah bambu di ruangan yang aku huni. Aku menegakkan tubuhku, menatap pintu dengan waspada. Beberapa lama kemudian, ada seseorang yang membuka pintu bambu itu. Ia berambut pendek, mengenakan seragam sekolah dan celana pendek, bertubuh gempal, matanya sipit, gigi yang terletak di rahang bawahnya lebih maju daripada gigi di rahang atasnya, dan berkulit sawo matang. Aku tidak tahu tentang batasan tampan, tetapi ia tidak bisa dikatakan tampan. Bukannya aku jahat, tetapi memang demikianlah bocah itu, menurutku.

“Ika…Ika…Ayo berangkat ke SLB…Nanti telat…”terdengar teriakan seorang wanita dari kejauhan. Aku pun terkejut. Bukankah ‘Ika’ lazimnya adalah nama seorang perempuan? Bagaimana bisa, fisik bocah itu sangat laki-laki. Bocah itu, Ika, tampaknya mendengar teriakan tersebut, lalu menghampiriku. Ia mengelus-elusku dengan sayang, lalu berbalik dan pergi meninggalkanku.

Ika meninggalkanku dengan pintu yang terbuka. Aku tersenyum lebar. Kesempatanku untuk lari telah tiba. Namun, entah kenapa, rasa penasaranku terhadap Ika, mengalahkan segalanya. Aku akan bertahan sampai besok. Aku ingin mengenal Ika lebih jauh lagi. Baru sepuluh menit ditinggalkan, aku sudah kangen belaian lembut Ika. Aku ingin dibelai lagi.

Gaung pun bersambut. Saat kangenku sudah tak tertahankan, Ika datang menghampiriku. Senangnya, aku dapat merasakan belaian Ika lagi. Memang agak naif, tetapi aku sangat senang dibelai. Mungkin karena aku jarang dibelai. Setelah membelaiku beberapa kali, Ika menarikku keluar dari ruangan bambu itu.

Ika mengajakku ke sebuah sumur. Ia menimba air dengan giat, lalu, “Byur!” air itu ia tumpahkan begitu saja ke badanku. Tentu saja aku terkejut bukan main. Seketika itu juga tubuhku bergidik kedinginan. Aku benar-benar ingin lari saat itu. Namun Ika mempunyai tenaga yang luar biasa. Ia memegangi taliku dengan kencang, sembari mencari-cari sabun dan sikat untuk menggosok badanku. Kakiku menyentak-nyentak. Aku sangat marah.

Aku pun terus mengibas-ngibaskan air di badanku sekuat tenaga. Karenanya, air-air itu mengenai baju dan wajah Ika. Hahaha. Itu yang aku harapkan. Seenaknya saja mau memandikan aku. Memangnya aku peduli dengan bau badanku? Toh meskipun dimandikan dengan kembang tujuh rupa pun, bauku akan tetap seperti ini. Mengapa Ika tidak bisa mengerti? Bukannya berhenti, Ika hanya menghapus air yang mengenai wajahnya, lalu mulai menimba lagi. “Krek..krek..krek..”bunyi timba air yang ditarik ke atas, terdengar begitu horor bagiku. “Krek…krek..krek…”yak, aku sudah siap, “Byur!” Sekali lagi Ika mengguyurkan air di badanku. Aku sungguh muak. Perutku keroncongan. Tetapi sudahlah, aku toh tidak bisa apa-apa. Ika memegangi taliku dengan sangat erat.

Untungnya, setelah guyuran kesekian kalinya, seorang perempuan paruh baya, menghampiri kami dengan tergopoh-gopoh. Ia merebut timba dari tangan Ika. Oh dewi penyelamatku! Terima kasih telah menjauhkan benda sialan itu dariku. Perempuan itu menegur Ika. Ika tampak sangat terpukul. Binar matanya meredup. Seketika itu juga, rasa kesalku padanya sirna. Aku tahu ia sebenarnya mencintaiku, dengan caranya yang luar biasa.

Esoknya, Ika datang lagi. Kali ini, kedatangannya membuatku bersemangat. Ia membawakan makanan kesukaanku. Bahkan, sesekali ia menyuapiku dengan riang. Bagaimana mungkin ada manusia seperti dia? Kemarin ia tampak sangat sedih. Sekarang, goresan kesedihan itu tidak tampak sedikit pun di wajahnya. Matanya telah kembali berbinar. Senyumnya telah kembali mengembang, sehingga deretan gigi bawahnya menonjol dengan jelas. Aku sangat suka dengan Ika yang seperti ini.

Esoknya lagi, lusa, setelah lusa, hingga beberapa bulan berselang, aku dan Ika selalu bersama. Sepulang sekolah, ia selalu menemuiku dan menyuapiku seperti biasa, hingga aku semakin gemuk. Lucunya, Ika selalu lupa untuk mengunci pintu bambu ini setiap hari. Anak itu sungguh teledor. Tapi anehnya, tidak pernah terbersit sedikit pun di dalam benakku untuk kabur dari tempat ini. Di dalam hatiku hanya ada Ika. Aku tidak bisa membayangkan bila suatu saat harus berpisah darinya.

Firasat buruk pun mulai berkecamuk di pikiranku. Beberapa hari ini, Ika tidak seperti biasanya. Senyuman khasnya hilang. Sinar matanya menjadi redup. Aku sangat tidak suka Ika yang seperti ini. Ika yang diam-diam menangis di ruangan bambu ini. Beberapa hari ini, Ika memang tampak melankolis. Aku tidak tahu kenapa, yang jelas, ia selalu menangis di dekatku.

Ingin rasanya menghibur dirinya. Tapi apa daya? Aku tak punya tangan untuk balas membelainya. Aku tak bisa berbicara dengan bahasanya. Meskipun aku coba untuk bersuara, ia tidak akan mengerti. Hatiku sakit karenanya. Apa yang bisa kulakukan untuk Ika? Kenapa aku tidak bisa membantu Ika, orang yang sangat aku cintai.

Suatu malam, Ika yang dipenuhi derai air mata, mendatangiku. Itu adalah pertama kalinya Ika mengajakku bicara, dalam bahasanya. “Kamu tahu surga?”tanyanya kepadaku. Hatiku mencelos. Pertama kalinya ia mengajakku bicara, mengapa topiknya adalah surga? Apa itu surga? “Kamu pasti masuk surga”ujarnya lirih, di sela-sela isak tangisnya.

Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Surga? Tunggu dulu. Sepertinya aku tahu sedikit tentang surga. Setiap kali manusia menengadahkan tangan, mereka selalu meminta agar kelak, Tuhan memasukkan mereka ke dalam surga. Aku jadi ingat bahwa aku tidak pernah berdoa. Apakah aku cukup pantas untuk berdoa? Badanku sangat kotor. Bagaimana tidak? Aku selalu ‘menolak’ jika Ika hendak memandikanku. Namun, hatiku mungkin tidak sekotor badanku. Aku menjadi optimis.

Aku pun mengingat-ingat apa saja yang telah aku lakukan selama aku hidup di dunia ini. Apakah aku pernah melakukan perbuatan yang menuai dosa? Seingatku, tindakan tersadisku adalah ketika aku mengibas-ngibaskan air di badanku hingga mengenai baju dan wajah Ika. Apakah aku berdosa karenanya? Maukah Tuhan mengampuniku? Aku hanya bisa berharap.

“Maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, …”Ika terus-menerus mengucapkan kata-kata itu setiap ia mengunjungiku. Kini ia tak lagi menyuapiku. Ia hanya menaruh makananku di hadapanku dan duduk meringkuk di sampingku. Lalu, ia menangis.

***

Aku tahu kini, kenapa Ika menangis dan meminta maaf kepadaku berulang kali. Sayangnya, aku menyadarinya ketika aku sudah dibariskan bersama sesamaku di suatu lapangan, dan telah diberi nomor urut. Nomor urutku adalah 13, dan di bawahnya tertera nama ‘Ika’. Melihatnya, cintaku pada Ika berubah jadi benci. Ternyata, ia hanya memanfaatkanku selama ini. Ia tidak sungguh-sungguh mencintaiku. Ia menyuapiku hanya agar aku bertambah gemuk. Semakin gemuk, hargaku semakin mahal. Uang, lagi-lagi uang. Manusia memang tidak punya hati. Bagaimana bisa masuk surga, jika kelakuan mereka lebih buruk dariku?!

Hari semakin siang, bau anyir darah semakin menusuk hidung. Tetapi di mana Ika? Kenapa ia tidak datang? Paling tidak, ia bisa menenangkanku saat ini. Di detik-detik menjelang ajalku. Sungguh ironis, meski telah dikecewakan sedemikian rupa, aku tetap mengharapkan kehadirannya. Cinta memang buta.

Mengapa aku masih juga memikirkan Ika? Ia telah menjualku, hanya demi uang. Dan aku harus mati karenanya. Seketika itu, terlintas saat-saat kebersamaanku dengannya. Betapa ia sangat teledor karena selalu lupa mengunci pintu bambu. Aku menjadi sangat menyesal mengingat hal itu. Kenapa aku tidak kabur saja waktu itu? Demi Ika…Aku bertahan. Apa harus demi Ika lagi…Aku mati?!

Di tengah keputusasaanku, aku tersadar. Mungkinkah Ika sebenarnya tidak pernah lupa untuk mengunci pintu? Mungkinkah Ika memang sengaja membiarkan pintu bambu itu tidak terkuci, agar aku bisa lari? Hmph, aku pun tersenyum. Inilah saatnya bagiku untuk membalas kebaikan Ika selama ini. Inilah saatnya bagiku untuk berarti. Mungkin aku pernah sangat merana karena ditakdirkan untuk menjadi seekor kambing jantan. Dulu aku sangat iri kepada kambing betina, yang bisa melahirkan anak, karenanya, ia jarang dijadikan kambing kurban. Namun sekarang, aku sangat bersyukur. Bahwa aku dijadikan kambing kurban. Bahwa dagingku akan dibagi-bagikan kepada orang-orang.

***

Pada saat yang bersamaan, di ruangan bambu, Ika duduk meringkuk dengan penuh deraian air mata. Ia memegang sehelai kertas, yang penuh dengan tulisan cakar ayamnya...

'Kesedihan telah mempercepat perpisahan kita
Setelah cinta kita lewati, kebahagiaan, dan hidup menyenangkan
Perpisahan setelah kegembiraan merupakan
Kesedihan yang menyakitkan
Apakah seorang kekasih harus menghadapi ujian seperti itu
Kesedihan yang diakibatkan kematian
Sakit hanya berlangsung sejenak
Namun kesedihan karena perpisahan
Selalu tertanam di dalam hati
Dan tak pernah terlupa akan kisah dan cerita
Tuhan telah mempersatukan kekasih untuk bersatu
Tetapi juga memisahkan
Untuk tidak bersatu lagi untuk selama-lamanya
Karena Allah selalu memberikan kita yang terbaik
Dan selalu adil kepada hamba-Nya'

***
Tibalah giliranku untuk disembelih. Aku sudah ikhlas dan bangga dengan pengorbananku ini. Semua demi Ika. Tapi, apakah ia tahu? Apakah ia bisa berhenti menangis?
Andai aku bisa bicara, ingin rasanya kuucapkan pada Ika, cinta matiku, bahwa aku bahagia.



______________________________________________________
Sebuah cerpen yang terinspirasi dari Keramba, karya Shofi Awanis.
Selamat Idul Adha :)
P.S: Puisi di atas berjudul ‘Cerita’, karya Zulaika, siswi kelas C1 SLB Tunas Kasih, Balong, Donoharjo, Ngaglik, Sleman.

Cinta yang Luar Biasa

Frustasi hati ini
Ingin menangis
Tiada henti
Rasa yang menyayat
Inikah pahit kehidupan yang kualami
Hampa tanpa rasa bahagia
-Hampa, karya Ika, 19 tahun, Kelas C1 SLB Tunas Kasih, Sleman-

Itulah sekelumit kepahitan yang terangkai dalam kata-kata indah. Puisi nan indah itu adalah ungkapan rasa dari seorang murid Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunas Kasih, Balong, Donoharjo, Ngaglik, Sleman. Ia merasa sedih dengan adanya stereotip negatif dari masyarakat terhadap murid-murid SLB. Seakan-akan, keberadaan mereka tidak dihargai dan diakui.

Padahal, dunia telah ‘mengakui’ keberadaan anak-anak luar biasa itu melalui peringatan International Difable Day setiap 3 Desember. Kata ‘difabel’, dalam Bahasa Inggris diartikan ‘differently-abled’, mencerminkan adanya revolusi pemikiran dalam memandang murid-murid SLB. Dengan menyebutnya difabel, bukan cacat, akan terpatri sebuah pemahaman bahwa mereka adalah anak-anak yang memiliki kemampuan berbeda, bukannya memiliki kekurangan, yang bisa dilecehkan.

Pada kenyataannya, murid-murid SLB masih juga akrab dengan pelecehan-pelecehan dari masyarakat. Kini, orang-orang memang tidak lagi melecehkan mereka secara lugas dengan menghina perbedaan fisik ataupun mental mereka. Akan tetapi, orang-orang lebih sering melecehkan mereka secara tidak langsung. Bentuk pelecehan secara tidak langsung yang sering mereka alami adalah penolakan dari orang-orang terhadap cinta yang mereka tawarkan. Ketika bertamasya di kebun binatang Gembira Loka, Yogyakarta, murid-murid SLB Tunas Kasih harus menerima kenyataan pahit tersebut. Pengunjung Gembira Loka yang mereka sapa dan mereka ajak berjabat tangan, justru lari.

Ketakutan Pengunjung Gembira Loka itu bukannya tanpa alasan. Orang-orang itu takut dengan respons murid-murid SLB jika mereka berinteraksi. Sungguh ironis. Suatu tawaran rasa cinta pun harus dikhawatirkan sedemikian rupa. Seakan-akan, murid-murid SLB tidak boleh mengekspresikan rasa cinta mereka.

Memang, anak-anak luar biasa itu tidak mungkin mengekspresikan rasa cinta mereka dengan cara yang biasa. Tentu saja mereka akan meluapkannya secara luar biasa.


Mereka mencintai gurunya secara luar biasa. Siswa-siswi di sekolah yang biasa, cenderung biasa saja dalam menyikapi ketidakhadiran guru. Bahkan, cenderung girang bukan kepalang karenanya. Namun tidak demikian dengan murid-murid SLB. Mereka akan menangis sejadi-jadinya jika gurunya berhalangan hadir. Mengapa demikian? Karena di antara mereka telah terjalin hubungan emosional yang sangat kuat. Penyebabnya tak lain adalah berkat siasat sang guru dalam mengajar. Beliau tidak terlalu terobsesi untuk membuat anak-anak itu lekas memahami pelajaran-pelajaran sesuai dengan kurikulum. Beliau mungkin merasa bahwa kurikulum merupakan representasi adanya hegemoni orang-orang biasa terhadap anak-anak yang luar biasa.

Mengabaikan tuntutan kurikulum, sang guru justru menuruti kemauan murid-muridnya. Meskipun kemauan mereka seringkali di luar batas kesabaran, sang guru memahaminya karena Beliau sadar bahwa mereka tidak akan sanggup belajar dengan waktu yang sama dengan orang-orang biasa. Mereka mudah merasa letih hanya dengan menjawab satu soal saja. Karenanya, mereka sering meminta rehat dan kemudian bermain sesukanya. Sang guru menyesuaikan saja dengan kondisi murid-muridnya itu. Ia baru akan mengajar kembali jika murid-muridnya benar-benar siap untuk menerima ilmu. Benar saja, percuma saja menuangkan teh pada cangkir yang sudah penuh, bukan?

Untungnya, murid-murid yang luar biasa itu tidak semata-mata memanfaatkan kelonggaran peraturan dari gurunya dengan terus bermain sesukanya. Buktinya, ketika gurunya tidak masuk, mereka menangis. Karena cangkir mereka telah kosong sehingga perlu diisi lagi, oleh guru itu, bukan oleh orang lain. Dengan saling memahami satu sama lain, terbentuklah ikatan emosional yang sangat luar biasa di antara guru dan murid itu.

Selain dengan guru, anak-anak itu juga memiliki ikatan emosional yang kuat dengan teman-temannya di SLB. Berbeda dengan anak-anak biasa yang berteman karena persamaan-persamaan yang dimiliki, misalnya kesamaan fisik, hobi, gaya hidup, dan sebagainya, anak-anak luar biasa itu justru berteman karena perbedaan-perbedaan yang mereka miliki.

Mereka tahu bahwa mereka berbeda satu sama lain dan saling memahami perbedaan itu. Misalnya, dalam upayanya untuk memahami anak autis yang dicintainya, mereka tidak akan merangkulnya karena ia tidak akan suka. Sentuhan fisik yang terlalu dekat akan menyiksa anak itu.

Jika kasusnya bukan autis, mereka dapat mengekspresikan rasa cinta terhadap temannya dengan lebih nyata. Mereka lebih jujur dalam mengungkapkan rasa cintanya. Cinta tidak mengenal batasan malu, begitu mungkin pikir mereka. Maka, mereka tidak akan sungkan untuk bergelendotan manja, menggamit tangan, merangkul, memeluk, dan mencium pipi teman-teman yang dicintainya.

Hal itu mungkin adalah hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang biasa tetapi menjadi luar biasa jika dilakukan oleh murid-murid SLB itu. Betapa tidak? Dengan perbedaan-perbedaan yang mereka miliki, mereka dapat berbagi cinta dan tertawa bersama.

Meskipun demikian, tidak selamanya cinta di antara mereka itu ‘aman’. Anak yang autis aktif, memiliki sedikit kesulitan dalam mengontrol rasa cintanya. Ia mengungkapkannya dengan cara yang lebih luar biasa. Awalnya, ia mengelus-elus pipi temannya, beberapa lama kemudian, ia menampar-namparnya, lalu membantingnya ke lantai.

Ungkapan cinta yang demikian memang berbahaya, tetapi teman-temannya mengerti kesulitan anak itu dan memahaminya. Buktinya, mereka tidak pernah sekali pun merasa takut untuk menerima cinta dari anak itu. Mereka tidak pernah takut untuk dicintai, sehingga mereka pun tidak pernah takut untuk terus mencintai, apa pun resikonya.



Seribu malaikat turun ke bumi
Kepakkan sayap rindu
Ke kelopak hatimu
Hingga mimpi mengembara
Kaulah ruh pecinta
Yang lahir di sini
Yang sanggup mengungkap
Rahasia embun pada daun
Ilhami cerita burung pada cantik
Dan kaulah warna sahabatku
Yang terungkap
Bila aku terjaga
Di bening matamu
Kulihat kristal hatiku kesepian
Pijar sinar bola matamu
Sinari hati yang merindukanmu
Kilat kaca matamu indah sekali
Melukiskan isi hatimu
Di telaga matamu di ufuk timur
Ada pijar bening berwarna
Di telaga matamu
Ada sahabatku yang membaca cerita
-Cerita, karya Ika, 19 tahun, Kelas C1 SLB Tunas Kasih, Sleman-

Anak-anak luar biasa itu tak hanya mencintai guru dan teman-temannya karena pada hakekatnya mereka adalah manusia biasa yang juga memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis. Ketertarikan mereka itu tanpa alasan yang jelas. Mereka pikir, tidak perlu ada alasan untuk mencintai seseorang. Namun terkadang, alasan dari ketertarikan mereka sangat tidak terduga. Mereka dapat mencintai seseorang yang baru dikenalnya, hanya karena mirip dengan seseorang. Mereka akan memandang pujaan hatinya terus-menerus, mendekatinya, dan menanyakan nomor Handphone serta alamat rumahnya. Mereka tidak mudah menyerah. Mereka akan terus mencarinya, sampai ketemu.

Setelah mendapatkan nomor Handphone pujaan hatinya, mereka akan mengirim SMS yang isinya adalah rayuan-rayuan yang mengandung kata ‘love’, ‘kiss’, dan ‘cantik’, kemudian disusul dengan rentetan puisi-puisi yang ditulis khusus untuk pujaan hatinya itu. Jika tak jua membalasnya, anak-anak luar biasa itu akan menelponnya.Mereka akan menagih cinta yang disembunyikan rapat-rapat oleh pujaan hatinya.


Cinta yang mereka tawarkan sebenarnya sangat luar biasa. Namun orang-orang biasa tidak dapat merasakannya sebagai hal yang luar biasa, dan bahagia karenanya. Bagi orang-orang biasa, cinta mereka sangat naif dan agresif, bahkan cenderung menakutkan.

Sadarkah bahwa ketakutan-ketakutan yang berlebihan dalam menerima cinta mereka, dapat membuat mereka patah hati?

Kukepakkan sayap perasaanku
Untuk jelajahi hati yang sepi
Rasa yang kian merajai hati
Namun…dapatkah ku
Memendam rasa ini
Inginku bukan hanya jadi temanmu
Angin pun jadi saksi
Semua kurajut dalam mimpi
Impian-impian yang selama ini terpatri
Hampaku dalam penantian
It’s my M
-Penantian, karya Ika, 19 tahun, Kelas C1 SLB Tunas Kasih, Sleman-

Beberapa ekspresi cinta di atas, jika dilakukan oleh anak-anak di sekolah biasa, akan menjadi hal yang biasa saja. Orang-orang tidak akan begitu mempermasalahkannya, karena mencintai lawan jenis adalah kodrat bagi setiap orang. Namun, mengapa hal itu begitu dipermasalahkan jika dilakukan oleh murid-murid SLB?

Padahal, murid-murid SLB pada hakekatnya sama dengan anak-anak biasa. Pikiran kita lah yang menjadikan mereka berbeda. Selama ini, kita selalu terbiasa untuk menilai seseorang atau sesuatu dengan sebuah ukuran. Dari ukuran itu, manusia menjadi terkotak-kotakkan.

Ingatlah bahwa bentuk cinta itu tidak kotak. Bentuknya jauh lebih indah dan luar biasa.

Atas cinta mereka yang begitu indah dan luar biasa, jangan lari! Tengadahkan kedua tangan, tarik ke arah badan, lalu silangkan keduanya di depan dada, dengan jari telunjuk dan jari tengah dalam keadaan terbuka. Artinya, ucapkanlah terima kasih.

Sheromant

Man shows his love in silence, that's why he looks so selfish ;(

Don't Let Us Down

Hey I have 'friends' here.

I didn't think before that they're so smart,
speak well; write also.

Look...they all stand up
to show up their ability



but fuckin ass, for me it's just like show off their inability
what's their real purpose to speak hah?
really to answer it
or
to intimidate the other?!

and I also have friend
who really smart, I know she is
and she never speak up if it's no use
She doesn't wanna answer questions
cause she thought, if she answer it, she'll look doing such thing (show off)
but I think it's ok for her to speak up at that time

neither to intimidate!
nor to show off!

but to heLp...



watch out ur mouth guys, cause u'll never know that u've made somebody down.

P.S.: do U know, that something was wrong??

FILO & SOPHIE



Who am I?
If I've known me, so why I keep take some quizes that describe my personality?!

Why I live in this world?
maybe only God knows the answer

but my lecturer told me many times that I'm the winner
of what??
coz million sperms lost, and I won!

so I was born to d world

To live...
then...
What for?!

Quran told us to make the other happy,
I've ever thought like that
that was my old motivation to survive

but I can't
because I'm not happy

I don't wanna kill my self
that many diseases come from our thinking,
so I don't wanna live stressfully again

but I still
wanna make a happiness for other
I'm not selfish u know..

[+/-]

Materi & Eksistensi dari Kolaborasi China-Hollywood

[+/-]

Jatuh Bangun Film Indonesia

[+/-]

Film Nasional: Tamu di Negeri Sendiri

[+/-]

Ini Bukan Sekedar

[+/-]

Teks Menentukan Konteks

[+/-]

Pesan Kematian Kane

[+/-]

Rekonstruksi Pendukung Revolusi

[+/-]

Neorealisme Italia: Jalan Tengah Perfilman Dunia

[+/-]

(Everlasting) Awaiting Friend Confirmation

[+/-]

The Sorry in Me

[+/-]

(bukan) BOLA

[+/-]

Faktor X

[+/-]

Perempuan Punya Derita

[+/-]

Jerman 091189

[+/-]

Aku Ingin Dikorbankan

[+/-]

Cinta yang Luar Biasa

[+/-]

Sheromant

[+/-]

Don't Let Us Down

[+/-]

FILO & SOPHIE