Minggu, 15 Agustus 2010

The Sorry in Me

I'm sorry God! to keep crying sometimes, although U always give me all that I want.
I'm sorry my parents, to make u sad, shy, and disappointed. That I can't make u proud again.
I'm sorry my brother, to make u so hard to help me, to make our parents believe in me and my choice.
I'm sorry my old friends, to leave u just like this. I hate goodbye. And it isn't goodbye so see ya.
I'm sorry my new friends, to not be honest with u. But you'll know by your self then. Don't worry.
I'm sorry my secret admirer, to not give u a chance before, sorry to hurt u, I don't mind to hurt u.
I'm sorry my untouchable love, to not spend my times again to think about u. I'll try.
I'm sorry my target operation, but I think you're not so worth it anymore, I just hate what u do.

sorry for all of u,
I'm just human...have a lot of mistakes, so please forgive me.

(bukan) BOLA



digelindingkan jika merepotkan

dioper jika mengganggu

ditendang jika mencerca

dilempar jika melawan

dibuang jika membahayakan

...padahal saya bukan bola

Faktor X

Kenapa tidak Y?
Jika aku punya Y...
aku tidak akan selalu menjadi objek
aku tidak akan dilecehkan
aku tidak akan terlalu banyak merasa

Yang kupunya hanyalah X
Faktor X itu lah yang mengendalikan emosiku
Aku memang hanya punya X, tapi apa aku harus diam?
Orang tuaku saja tidak melarang
Kenapa struktur begitu membelenggu kebebasan?

Maka aku pun berpikir...
Mungkin aku tdk akan tahan bekerja di mana pun
Karena aku lebih sering berkata tidak
Maafkan aku, bukannya mencari alasan,
itu semua karena aku tidak punya Y

Perempuan Punya Derita

Di dalam buku yang berjudul The Girls of Riyadh,
Rajaa al-Sanea menceritakan kisah nyata keempat sahabatnya di Riyadh yang bernama Qamrah El Qashmany, Shedim El Harimly, Lumeis Jadawy, dan Michelle El Abdul Rahman. Keempat sahabatnya itu, masing-masing memiliki kisah yang dapat dikaji berdasarkan proses berpikir yang berkembang di lingkungan mereka dalam memandang perempuan dan segala problematikanya.

Kisah yang pertama adalah tentang Qamrah El Qashmany. Qamrah menikah dengan Rasyid melalui prosesi perjodohan. Dengan terpaksa, keduanya memenuhi keinginan orang tua masing-masing. Pada akhirnya, Rasyid berselingkuh dan melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap Qamrah, lalu Qamrah menjadi seorang janda dan membesarkan anaknya seorang diri. Di Riyadh, perjodohan merupakan hal yang biasa terjadi. Menurut adat yang berlaku di sana, perempuan tidak memiliki hak apapun untuk menolak perjodohan. Sejak kecil, mereka diajarkan bahwa perintah orang tua adalah sesuatu yang harus dituruti, sekalipun itu adalah perjodohan. Seorang anak perempuan mulai belajar mengenai apa yang harus dipatuhi dari perlakuan orang lain di sekitarnya terhadap anak perempuannya. Ketika ia melihat bahwa seorang perempuan tidak diperbolehkan untuk memilih pasangannya sendiri, ia pun melakukan hal yang sama. Di dalam benaknya, terpatri pemahaman bahwa seorang perempuan memang tidak memiliki hak untuk memilih pasangannya sendiri karena orang tua lebih berkompeten untuk memilihkan jodoh baginya. Perempuan-perempuan itu mengenali kedudukannya dengan melakukan sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat. Inilah yang disebut dengan pemahaman kinestetis, yaitu pemahaman yang dipelajari dari berbuat. Dalam hal ini, pemahaman dipengaruhi oleh keadaan sosio-kultural di sekitarnya.

Kisah yang kedua adalah tentang Shedim El Harimly. Shedim menyerahkan keperawanannya kepada Walid, tunangannya. Tragisnya, Walid meninggalkan Shedim setelah malam pertama pra nikah itu. Berpalingnya Walid ini mungkin dikarenakan pandangannya terhadap Shedim berubah semenjak malam pertama itu. Walid mencapai pemahaman ikonis, yang diperolehnya melalui pengalamannya yang menunjukkan kesamaan dan generalisasi. Di Riyadh, perempuan yang menyerahkan keperawanannya sebelum menikah dianggap bukan perempuan baik-baik. Berdasarkan kejadian yang Walid alami maupun saksikan, Walid menjadi yakin bahwa Shedim adalah bukan perempuan baik-baik. Beberapa waktu berselang, Shedim menjalin hubungan dengan Faraz. Menjelang pernikahan mereka, Shedim menceritakan masa lalunya dengan Walid kepada Faraz. Kejadian tragis kembali menimpa Shedim. Faraz meninggalkannya dan menikah dengan perempuan lain. Di Riyadh, keperawanan adalah simbol kesucian perempuan yang harus dijaga hingga ia menikah. Hilangnya keperawanan Shedim, secara simbolis, merupakan nilai minus bagi Faraz.

Kisah yang ketiga adalah tentang Lumeis Jadawy. Lumeis memilih untuk menentukan pasangannya sendiri, yaitu Ali. Namun, mereka harus berpisah karena perbedaan aliran yang dianut oleh keluarga masing-masing. Keluarga Ali adalah penganut aliran Syiah, sedangkan keluarga Lumeis adalah penganut aliran Sunni. Di Riyadh, menikah antara penganut aliran Syiah dan Sunni memang tidak lazim terjadi. Menurut adat yang berlaku di sana, perbedaan aliran merupakan hal prinsipil sehingga pemeluk aliran yang berbeda ‘dilarang’ untuk menikah. Sejak kecil, anggota keluarga mereka diajarkan bahwa pernikahan beda aliran itu ‘dilarang’. Ketika mereka melihat bahwa orang-orang di sekitarnya tidak ada yang melakukan pernikahan antara Syiah dan Sunni, mereka pun melakukan hal yang sama, dengan melarang hubungan Lumeis dan Ali. Inilah yang disebut dengan pemahaman kinestetis, yaitu pemahaman yang dipelajari dari berbuat. Dalam hal ini, pemahaman dipengaruhi oleh keadaan sosio-kultural di sekitarnya.

Kisah yang keempat adalah tentang Michelle El Abdul Rahman. Michelle harus mengakhiri hubungannya dengan Faishal karena calon mertuanya tidak berkenan dengan ibu Michelle yang keturunan Amerika Serikat. Mendengar kata Amerika Serikat, maka orang tua Faishal mengaitkannya dengan beberapa konsep yang disimbolkan dengan kata-kata seperti: negara pendukung Yahudi, pencipta ‘teror’ di Irak, bebas di luar batas ketimuran, dan lain sebagainya. Ini artinya, orang tua Faishal memperoleh pemahaman negatif mengenai Amerika Serikat secara simbolis. Beberapa waktu berselang, Michelle pindah kuliah ke Amerika Serikat dan menjalin hubungan dengan Matthew, yang beragama Nasrani. Kali ini, penentangan datang dari keluarga Michelle. Di Riyadh, pernikahan beda agama dilarang, terutama bagi pemeluk agama Islam. Sejak kecil, mereka diajarkan bahwa pernikahan beda agama adalah hal yang mendatangkan dosa. Ketika mereka melihat bahwa orang-orang di sekitarnya tidak ada yang melakukan pernikahan beda agama, mereka pun melakukan hal yang sama, dengan melarang hubungan Michelle dan Matthew.

Dengan menelaah kisah keempat perempuan Riyadh di atas, bukalah mata, hati, dan telingamu sehingga tidak memberi penilaian buruk terlalu cepat kepada mereka. Perempuan-perempuan ini penuh derita, yang disebabkan oleh pemahaman kinestetis, ikonis, dan simbolis yang terkadang keliru dari orang-orang di sekitar mereka. Mereka adalah korban dari minimnya proses berpikir orang-orang di sekitar mereka dalam memutuskan apa yang harus mereka lakukan dan apa yang tidak boleh mereka lakukan. Seharusnya, berbagai persoalan yang dialami oleh perempuan-perempuan di atas jangan ditinjau dari satu cara berpikir saja, tetapi secara bertahap, yaitu dimulai dari kinestetis, ikonis, lalu simbolis. Lihatlah lebih dekat, rasakan lebih dalam, dan dengarlah lebih seksama. Maka derita itu akan sirna.

Jerman 091189

Awal ketertarikanku terhadap Jerman adalah karena Panser (timnas sepakbola Jerman), Schumacher, dan Vettel tentunya. Lalu, aku sangat tertarik untuk mempelajari bahasanya. Namun, karena suatu hal, aku masih belum bisa memenuhi keinginanku itu. Untuk memuaskan dahagaku akan bahasa Jerman, aku putuskan untuk menonton film-film berbahasa Jerman yang diputar di taman budaya dan LIP Yogyakarta oleh Goethe-Institut bekerja sama dengan KINOKI/Taman Budaya Yogyakarta dan LIP (Lembaga Indonesia Perancis).

Untuk memperingati runtuhnya tembok berlin, Goethe-Institut memutarkan film-film yang bersetting sekitar runtuhnya tembok Berlin. Tembok berlin runtuh tanggal 9 November 1989, 20 tahun yang lalu.
Apa yang membuat rakyat Jerman bersatu padu merobohkannya?! Hal-hal yang terjadi saat perbatasan itu masih ada tentu yang menjadi penyebabnya. Lalu, bagaimanakah setelah mereka bersatu? Dua film yang aku tonton, Das Leben der Anderen dan Goodbye Lenin, menjadi sumber referensiku.

Film yang pertama yaitu Das Leben der Anderen, bercerita tentang kondisi di Jerman Timur saat tembok Berlin masih berdiri. Saat itu, di Jerman Timur gencar dilakukan penyadapan di mana-mana. Oknum-oknum politik tertentu, terutama kalangan partai yang paling berkuasa (di film ini, namanya Stasi), melakukan penyadapan kepada orang-orang yang dicurigai menentang pemerintah. Setiap tingkah laku dan percakapan langsung maupun telepon, dicuri dengar, lalu didokumentasikan (saat itu dengan menggunakan mesin ketik). Saat itu, sangat berbahaya berkomunikasi di dalam rumah dan melalui telepon, lebih baik cari tempat di luar rumah saja. Tentunya, aksi protes dan pemberontakan yang terekam, langsung ditindak dan pelakunya dijebloskan di penjara, dengan interogasi 48 jam yang sangat tidak manusiawi. Interogasi tanpa mengenal batas itu biasanya membuahkan hasil. Bahkan, pasangan yang sangat setia pun bisa menyerah dan membocorkan rahasia pasangannya. Tentu dengan sangat menyesal, lalu ia pun bunuh diri. Tragedi bunuh diri sangat ditutup-tutupi saat itu. Menulis tentang jumlah orang yang bunuh diri akibat tertekan oleh oknum-oknum tertentu, langsung diseret ke penjara. Saat tembok Berlin runtuh, kebebasan menulis bangkit kembali. Sang tokoh menjadi penulis terkenal, dan menulis buku khusus untuk sang penyadap, yang baik hati, HGW XX. Untuk HGW XX, aku juga salut atas pengorbananmu. Kamu orang baik.

Film yang kedua yaitu Goodbye Lenin. Setting yang diambil adalah ketika tembok Berlin sudah dirobohkan. Namun, demi kesehatan seorang ibu, sang anak mati-matian mengkondisikan seolah-olah tembok itu masih berdiri. Ia ingin ibunya tahu penyatuan Jerman secara perlahan, agar tidak terkena serangan jantung kembali. Penyatuan Jerman memang bisa membuat shock. Banyak pekerja Jerman Timur yang tiba-tiba ‘pensiun’. Kebebasan berekspresi, berbusana, tayangan televisi, marak terjadi. Namun perlahan sang ibu tahu dan meninggal dengan tersenyum. Betapa indahnya ketika abunya diterbangkan bersama ‘roket’ dan meluncur ke langit menjadi kembang api. Perdamaian memang indah.


P.S.: Tembok yang berdiri lebih dari 40 tahun akhirnya runtuh juga.

Aku Ingin Dikorbankan

Aku tidak tahu, apakah harus lega atau merana, dengan kepindahanku ini. Aku pergi meninggalkan kediaman lamaku. Walaupun tidak bisa disebut sebagai rumah, tetapi aku sudah cukup nyaman tinggal di sana. Tanahnya yang selalu becek, penuh sampah berserakan, dan terkadang dipenuhi cacing-cacing, tidak menjadi suatu masalah bagiku. Nyatanya, aku bahkan tidak pernah mengenakan alas kaki di tanah seperti itu.

Belum cukup dengan kondisi tanahnya yang memprihatinkan, ‘rumahku’ yang dulu juga tak beratap. Dengan demikian, aliran air yang turun dari langit pasti langsung mengenai tubuhku. Aku tidak habis pikir, mengapa akhir-akhir ini selalu hujan, bahkan beberapa kali dalam sehari. “Oh, udan terus, Lek. Wes November yo, mongso rendeng” (Oh, hujan terus, Lek. Sudah November ya, musim penghujan) keluh seorang wanita paruh baya, mengenakan kebaya kuno, rambutnya tergelung, yang badannya bau sekali.

Sebenarnya, bau badan wanita itu hanyalah sebagian kecil penyumbang bau yang tak karuan di ‘rumahku’ itu. Sudah aku katakan sebelumnya, bahwa banyak sampah yang berserakan di tanah. Selain itu, banyaknya manusia beserta keringatnya, tentu saja turut berkontribusi terhadap bau yang menjengkelkan di ‘rumahku’. Namun aku tahu diri. Aku sadar bahwa tubuhku pasti jauh lebih bau daripada bau apa pun juga. Untuk itulah, aku tidak pernah sekali pun berusaha mengatasi bau-bauan itu dengan menutup hidungku. Hmm…Seandainya aku kebauan, aku juga hanya bisa pasrah. Bagaimana bisa, aku menutup hidungku menggunakan tangan? Aku tidak punya tangan.

Tampaknya tangan bukanlah hal yang penting bagiku. Tanpa tangan, hidupku sangatlah normal. Aku tak bisa membayangkan jika aku mempunyai sepasang tangan, lalu orang-orang akan mengerumuniku, memotret-motretku tanpa ijin, dan terus mengamatiku dengan takjub, hingga aku pun jengah. Oleh karena itu, aku sangat bersyukur karena aku hanya punya kaki.

Rasa syukurku bertambah ketika seorang lelaki paruh baya membawaku pergi dari ‘rumahku’ itu. Kami berjalan berdampingan. Dalam artian, aku ada di sampingnya. Tetapi jangan terburu-buru untuk menafsirkan bahwa kami bergandengan tangan atau semacamnya. Ingat, aku tidak punya tangan. Karena itulah, ia tidak bisa menggandengku. Dan aku tahu, ia tidak mempercayaiku sama sekali. Ia pasti khawatir bahwa aku akan lari, jika ia tidak berhati-hati. Maka ia mengalungiku dengan sebuah tali berwarna hijau. Ia mencengkeram erat tali itu. Padahal aku tidak berniat sedikit pun untuk lari. Aku masih sangat lelah.

Benar rupanya, lelahku sudah di ambang batas. Aku tidak sadar berapa lama aku memejamkan mata. Tiba-tiba saja, semburat sinar mentari pagi memasuki celah-celah bambu di ruangan yang aku huni. Aku menegakkan tubuhku, menatap pintu dengan waspada. Beberapa lama kemudian, ada seseorang yang membuka pintu bambu itu. Ia berambut pendek, mengenakan seragam sekolah dan celana pendek, bertubuh gempal, matanya sipit, gigi yang terletak di rahang bawahnya lebih maju daripada gigi di rahang atasnya, dan berkulit sawo matang. Aku tidak tahu tentang batasan tampan, tetapi ia tidak bisa dikatakan tampan. Bukannya aku jahat, tetapi memang demikianlah bocah itu, menurutku.

“Ika…Ika…Ayo berangkat ke SLB…Nanti telat…”terdengar teriakan seorang wanita dari kejauhan. Aku pun terkejut. Bukankah ‘Ika’ lazimnya adalah nama seorang perempuan? Bagaimana bisa, fisik bocah itu sangat laki-laki. Bocah itu, Ika, tampaknya mendengar teriakan tersebut, lalu menghampiriku. Ia mengelus-elusku dengan sayang, lalu berbalik dan pergi meninggalkanku.

Ika meninggalkanku dengan pintu yang terbuka. Aku tersenyum lebar. Kesempatanku untuk lari telah tiba. Namun, entah kenapa, rasa penasaranku terhadap Ika, mengalahkan segalanya. Aku akan bertahan sampai besok. Aku ingin mengenal Ika lebih jauh lagi. Baru sepuluh menit ditinggalkan, aku sudah kangen belaian lembut Ika. Aku ingin dibelai lagi.

Gaung pun bersambut. Saat kangenku sudah tak tertahankan, Ika datang menghampiriku. Senangnya, aku dapat merasakan belaian Ika lagi. Memang agak naif, tetapi aku sangat senang dibelai. Mungkin karena aku jarang dibelai. Setelah membelaiku beberapa kali, Ika menarikku keluar dari ruangan bambu itu.

Ika mengajakku ke sebuah sumur. Ia menimba air dengan giat, lalu, “Byur!” air itu ia tumpahkan begitu saja ke badanku. Tentu saja aku terkejut bukan main. Seketika itu juga tubuhku bergidik kedinginan. Aku benar-benar ingin lari saat itu. Namun Ika mempunyai tenaga yang luar biasa. Ia memegangi taliku dengan kencang, sembari mencari-cari sabun dan sikat untuk menggosok badanku. Kakiku menyentak-nyentak. Aku sangat marah.

Aku pun terus mengibas-ngibaskan air di badanku sekuat tenaga. Karenanya, air-air itu mengenai baju dan wajah Ika. Hahaha. Itu yang aku harapkan. Seenaknya saja mau memandikan aku. Memangnya aku peduli dengan bau badanku? Toh meskipun dimandikan dengan kembang tujuh rupa pun, bauku akan tetap seperti ini. Mengapa Ika tidak bisa mengerti? Bukannya berhenti, Ika hanya menghapus air yang mengenai wajahnya, lalu mulai menimba lagi. “Krek..krek..krek..”bunyi timba air yang ditarik ke atas, terdengar begitu horor bagiku. “Krek…krek..krek…”yak, aku sudah siap, “Byur!” Sekali lagi Ika mengguyurkan air di badanku. Aku sungguh muak. Perutku keroncongan. Tetapi sudahlah, aku toh tidak bisa apa-apa. Ika memegangi taliku dengan sangat erat.

Untungnya, setelah guyuran kesekian kalinya, seorang perempuan paruh baya, menghampiri kami dengan tergopoh-gopoh. Ia merebut timba dari tangan Ika. Oh dewi penyelamatku! Terima kasih telah menjauhkan benda sialan itu dariku. Perempuan itu menegur Ika. Ika tampak sangat terpukul. Binar matanya meredup. Seketika itu juga, rasa kesalku padanya sirna. Aku tahu ia sebenarnya mencintaiku, dengan caranya yang luar biasa.

Esoknya, Ika datang lagi. Kali ini, kedatangannya membuatku bersemangat. Ia membawakan makanan kesukaanku. Bahkan, sesekali ia menyuapiku dengan riang. Bagaimana mungkin ada manusia seperti dia? Kemarin ia tampak sangat sedih. Sekarang, goresan kesedihan itu tidak tampak sedikit pun di wajahnya. Matanya telah kembali berbinar. Senyumnya telah kembali mengembang, sehingga deretan gigi bawahnya menonjol dengan jelas. Aku sangat suka dengan Ika yang seperti ini.

Esoknya lagi, lusa, setelah lusa, hingga beberapa bulan berselang, aku dan Ika selalu bersama. Sepulang sekolah, ia selalu menemuiku dan menyuapiku seperti biasa, hingga aku semakin gemuk. Lucunya, Ika selalu lupa untuk mengunci pintu bambu ini setiap hari. Anak itu sungguh teledor. Tapi anehnya, tidak pernah terbersit sedikit pun di dalam benakku untuk kabur dari tempat ini. Di dalam hatiku hanya ada Ika. Aku tidak bisa membayangkan bila suatu saat harus berpisah darinya.

Firasat buruk pun mulai berkecamuk di pikiranku. Beberapa hari ini, Ika tidak seperti biasanya. Senyuman khasnya hilang. Sinar matanya menjadi redup. Aku sangat tidak suka Ika yang seperti ini. Ika yang diam-diam menangis di ruangan bambu ini. Beberapa hari ini, Ika memang tampak melankolis. Aku tidak tahu kenapa, yang jelas, ia selalu menangis di dekatku.

Ingin rasanya menghibur dirinya. Tapi apa daya? Aku tak punya tangan untuk balas membelainya. Aku tak bisa berbicara dengan bahasanya. Meskipun aku coba untuk bersuara, ia tidak akan mengerti. Hatiku sakit karenanya. Apa yang bisa kulakukan untuk Ika? Kenapa aku tidak bisa membantu Ika, orang yang sangat aku cintai.

Suatu malam, Ika yang dipenuhi derai air mata, mendatangiku. Itu adalah pertama kalinya Ika mengajakku bicara, dalam bahasanya. “Kamu tahu surga?”tanyanya kepadaku. Hatiku mencelos. Pertama kalinya ia mengajakku bicara, mengapa topiknya adalah surga? Apa itu surga? “Kamu pasti masuk surga”ujarnya lirih, di sela-sela isak tangisnya.

Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Surga? Tunggu dulu. Sepertinya aku tahu sedikit tentang surga. Setiap kali manusia menengadahkan tangan, mereka selalu meminta agar kelak, Tuhan memasukkan mereka ke dalam surga. Aku jadi ingat bahwa aku tidak pernah berdoa. Apakah aku cukup pantas untuk berdoa? Badanku sangat kotor. Bagaimana tidak? Aku selalu ‘menolak’ jika Ika hendak memandikanku. Namun, hatiku mungkin tidak sekotor badanku. Aku menjadi optimis.

Aku pun mengingat-ingat apa saja yang telah aku lakukan selama aku hidup di dunia ini. Apakah aku pernah melakukan perbuatan yang menuai dosa? Seingatku, tindakan tersadisku adalah ketika aku mengibas-ngibaskan air di badanku hingga mengenai baju dan wajah Ika. Apakah aku berdosa karenanya? Maukah Tuhan mengampuniku? Aku hanya bisa berharap.

“Maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, …”Ika terus-menerus mengucapkan kata-kata itu setiap ia mengunjungiku. Kini ia tak lagi menyuapiku. Ia hanya menaruh makananku di hadapanku dan duduk meringkuk di sampingku. Lalu, ia menangis.

***

Aku tahu kini, kenapa Ika menangis dan meminta maaf kepadaku berulang kali. Sayangnya, aku menyadarinya ketika aku sudah dibariskan bersama sesamaku di suatu lapangan, dan telah diberi nomor urut. Nomor urutku adalah 13, dan di bawahnya tertera nama ‘Ika’. Melihatnya, cintaku pada Ika berubah jadi benci. Ternyata, ia hanya memanfaatkanku selama ini. Ia tidak sungguh-sungguh mencintaiku. Ia menyuapiku hanya agar aku bertambah gemuk. Semakin gemuk, hargaku semakin mahal. Uang, lagi-lagi uang. Manusia memang tidak punya hati. Bagaimana bisa masuk surga, jika kelakuan mereka lebih buruk dariku?!

Hari semakin siang, bau anyir darah semakin menusuk hidung. Tetapi di mana Ika? Kenapa ia tidak datang? Paling tidak, ia bisa menenangkanku saat ini. Di detik-detik menjelang ajalku. Sungguh ironis, meski telah dikecewakan sedemikian rupa, aku tetap mengharapkan kehadirannya. Cinta memang buta.

Mengapa aku masih juga memikirkan Ika? Ia telah menjualku, hanya demi uang. Dan aku harus mati karenanya. Seketika itu, terlintas saat-saat kebersamaanku dengannya. Betapa ia sangat teledor karena selalu lupa mengunci pintu bambu. Aku menjadi sangat menyesal mengingat hal itu. Kenapa aku tidak kabur saja waktu itu? Demi Ika…Aku bertahan. Apa harus demi Ika lagi…Aku mati?!

Di tengah keputusasaanku, aku tersadar. Mungkinkah Ika sebenarnya tidak pernah lupa untuk mengunci pintu? Mungkinkah Ika memang sengaja membiarkan pintu bambu itu tidak terkuci, agar aku bisa lari? Hmph, aku pun tersenyum. Inilah saatnya bagiku untuk membalas kebaikan Ika selama ini. Inilah saatnya bagiku untuk berarti. Mungkin aku pernah sangat merana karena ditakdirkan untuk menjadi seekor kambing jantan. Dulu aku sangat iri kepada kambing betina, yang bisa melahirkan anak, karenanya, ia jarang dijadikan kambing kurban. Namun sekarang, aku sangat bersyukur. Bahwa aku dijadikan kambing kurban. Bahwa dagingku akan dibagi-bagikan kepada orang-orang.

***

Pada saat yang bersamaan, di ruangan bambu, Ika duduk meringkuk dengan penuh deraian air mata. Ia memegang sehelai kertas, yang penuh dengan tulisan cakar ayamnya...

'Kesedihan telah mempercepat perpisahan kita
Setelah cinta kita lewati, kebahagiaan, dan hidup menyenangkan
Perpisahan setelah kegembiraan merupakan
Kesedihan yang menyakitkan
Apakah seorang kekasih harus menghadapi ujian seperti itu
Kesedihan yang diakibatkan kematian
Sakit hanya berlangsung sejenak
Namun kesedihan karena perpisahan
Selalu tertanam di dalam hati
Dan tak pernah terlupa akan kisah dan cerita
Tuhan telah mempersatukan kekasih untuk bersatu
Tetapi juga memisahkan
Untuk tidak bersatu lagi untuk selama-lamanya
Karena Allah selalu memberikan kita yang terbaik
Dan selalu adil kepada hamba-Nya'

***
Tibalah giliranku untuk disembelih. Aku sudah ikhlas dan bangga dengan pengorbananku ini. Semua demi Ika. Tapi, apakah ia tahu? Apakah ia bisa berhenti menangis?
Andai aku bisa bicara, ingin rasanya kuucapkan pada Ika, cinta matiku, bahwa aku bahagia.



______________________________________________________
Sebuah cerpen yang terinspirasi dari Keramba, karya Shofi Awanis.
Selamat Idul Adha :)
P.S: Puisi di atas berjudul ‘Cerita’, karya Zulaika, siswi kelas C1 SLB Tunas Kasih, Balong, Donoharjo, Ngaglik, Sleman.

Cinta yang Luar Biasa

Frustasi hati ini
Ingin menangis
Tiada henti
Rasa yang menyayat
Inikah pahit kehidupan yang kualami
Hampa tanpa rasa bahagia
-Hampa, karya Ika, 19 tahun, Kelas C1 SLB Tunas Kasih, Sleman-

Itulah sekelumit kepahitan yang terangkai dalam kata-kata indah. Puisi nan indah itu adalah ungkapan rasa dari seorang murid Sekolah Luar Biasa (SLB) Tunas Kasih, Balong, Donoharjo, Ngaglik, Sleman. Ia merasa sedih dengan adanya stereotip negatif dari masyarakat terhadap murid-murid SLB. Seakan-akan, keberadaan mereka tidak dihargai dan diakui.

Padahal, dunia telah ‘mengakui’ keberadaan anak-anak luar biasa itu melalui peringatan International Difable Day setiap 3 Desember. Kata ‘difabel’, dalam Bahasa Inggris diartikan ‘differently-abled’, mencerminkan adanya revolusi pemikiran dalam memandang murid-murid SLB. Dengan menyebutnya difabel, bukan cacat, akan terpatri sebuah pemahaman bahwa mereka adalah anak-anak yang memiliki kemampuan berbeda, bukannya memiliki kekurangan, yang bisa dilecehkan.

Pada kenyataannya, murid-murid SLB masih juga akrab dengan pelecehan-pelecehan dari masyarakat. Kini, orang-orang memang tidak lagi melecehkan mereka secara lugas dengan menghina perbedaan fisik ataupun mental mereka. Akan tetapi, orang-orang lebih sering melecehkan mereka secara tidak langsung. Bentuk pelecehan secara tidak langsung yang sering mereka alami adalah penolakan dari orang-orang terhadap cinta yang mereka tawarkan. Ketika bertamasya di kebun binatang Gembira Loka, Yogyakarta, murid-murid SLB Tunas Kasih harus menerima kenyataan pahit tersebut. Pengunjung Gembira Loka yang mereka sapa dan mereka ajak berjabat tangan, justru lari.

Ketakutan Pengunjung Gembira Loka itu bukannya tanpa alasan. Orang-orang itu takut dengan respons murid-murid SLB jika mereka berinteraksi. Sungguh ironis. Suatu tawaran rasa cinta pun harus dikhawatirkan sedemikian rupa. Seakan-akan, murid-murid SLB tidak boleh mengekspresikan rasa cinta mereka.

Memang, anak-anak luar biasa itu tidak mungkin mengekspresikan rasa cinta mereka dengan cara yang biasa. Tentu saja mereka akan meluapkannya secara luar biasa.


Mereka mencintai gurunya secara luar biasa. Siswa-siswi di sekolah yang biasa, cenderung biasa saja dalam menyikapi ketidakhadiran guru. Bahkan, cenderung girang bukan kepalang karenanya. Namun tidak demikian dengan murid-murid SLB. Mereka akan menangis sejadi-jadinya jika gurunya berhalangan hadir. Mengapa demikian? Karena di antara mereka telah terjalin hubungan emosional yang sangat kuat. Penyebabnya tak lain adalah berkat siasat sang guru dalam mengajar. Beliau tidak terlalu terobsesi untuk membuat anak-anak itu lekas memahami pelajaran-pelajaran sesuai dengan kurikulum. Beliau mungkin merasa bahwa kurikulum merupakan representasi adanya hegemoni orang-orang biasa terhadap anak-anak yang luar biasa.

Mengabaikan tuntutan kurikulum, sang guru justru menuruti kemauan murid-muridnya. Meskipun kemauan mereka seringkali di luar batas kesabaran, sang guru memahaminya karena Beliau sadar bahwa mereka tidak akan sanggup belajar dengan waktu yang sama dengan orang-orang biasa. Mereka mudah merasa letih hanya dengan menjawab satu soal saja. Karenanya, mereka sering meminta rehat dan kemudian bermain sesukanya. Sang guru menyesuaikan saja dengan kondisi murid-muridnya itu. Ia baru akan mengajar kembali jika murid-muridnya benar-benar siap untuk menerima ilmu. Benar saja, percuma saja menuangkan teh pada cangkir yang sudah penuh, bukan?

Untungnya, murid-murid yang luar biasa itu tidak semata-mata memanfaatkan kelonggaran peraturan dari gurunya dengan terus bermain sesukanya. Buktinya, ketika gurunya tidak masuk, mereka menangis. Karena cangkir mereka telah kosong sehingga perlu diisi lagi, oleh guru itu, bukan oleh orang lain. Dengan saling memahami satu sama lain, terbentuklah ikatan emosional yang sangat luar biasa di antara guru dan murid itu.

Selain dengan guru, anak-anak itu juga memiliki ikatan emosional yang kuat dengan teman-temannya di SLB. Berbeda dengan anak-anak biasa yang berteman karena persamaan-persamaan yang dimiliki, misalnya kesamaan fisik, hobi, gaya hidup, dan sebagainya, anak-anak luar biasa itu justru berteman karena perbedaan-perbedaan yang mereka miliki.

Mereka tahu bahwa mereka berbeda satu sama lain dan saling memahami perbedaan itu. Misalnya, dalam upayanya untuk memahami anak autis yang dicintainya, mereka tidak akan merangkulnya karena ia tidak akan suka. Sentuhan fisik yang terlalu dekat akan menyiksa anak itu.

Jika kasusnya bukan autis, mereka dapat mengekspresikan rasa cinta terhadap temannya dengan lebih nyata. Mereka lebih jujur dalam mengungkapkan rasa cintanya. Cinta tidak mengenal batasan malu, begitu mungkin pikir mereka. Maka, mereka tidak akan sungkan untuk bergelendotan manja, menggamit tangan, merangkul, memeluk, dan mencium pipi teman-teman yang dicintainya.

Hal itu mungkin adalah hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang biasa tetapi menjadi luar biasa jika dilakukan oleh murid-murid SLB itu. Betapa tidak? Dengan perbedaan-perbedaan yang mereka miliki, mereka dapat berbagi cinta dan tertawa bersama.

Meskipun demikian, tidak selamanya cinta di antara mereka itu ‘aman’. Anak yang autis aktif, memiliki sedikit kesulitan dalam mengontrol rasa cintanya. Ia mengungkapkannya dengan cara yang lebih luar biasa. Awalnya, ia mengelus-elus pipi temannya, beberapa lama kemudian, ia menampar-namparnya, lalu membantingnya ke lantai.

Ungkapan cinta yang demikian memang berbahaya, tetapi teman-temannya mengerti kesulitan anak itu dan memahaminya. Buktinya, mereka tidak pernah sekali pun merasa takut untuk menerima cinta dari anak itu. Mereka tidak pernah takut untuk dicintai, sehingga mereka pun tidak pernah takut untuk terus mencintai, apa pun resikonya.



Seribu malaikat turun ke bumi
Kepakkan sayap rindu
Ke kelopak hatimu
Hingga mimpi mengembara
Kaulah ruh pecinta
Yang lahir di sini
Yang sanggup mengungkap
Rahasia embun pada daun
Ilhami cerita burung pada cantik
Dan kaulah warna sahabatku
Yang terungkap
Bila aku terjaga
Di bening matamu
Kulihat kristal hatiku kesepian
Pijar sinar bola matamu
Sinari hati yang merindukanmu
Kilat kaca matamu indah sekali
Melukiskan isi hatimu
Di telaga matamu di ufuk timur
Ada pijar bening berwarna
Di telaga matamu
Ada sahabatku yang membaca cerita
-Cerita, karya Ika, 19 tahun, Kelas C1 SLB Tunas Kasih, Sleman-

Anak-anak luar biasa itu tak hanya mencintai guru dan teman-temannya karena pada hakekatnya mereka adalah manusia biasa yang juga memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis. Ketertarikan mereka itu tanpa alasan yang jelas. Mereka pikir, tidak perlu ada alasan untuk mencintai seseorang. Namun terkadang, alasan dari ketertarikan mereka sangat tidak terduga. Mereka dapat mencintai seseorang yang baru dikenalnya, hanya karena mirip dengan seseorang. Mereka akan memandang pujaan hatinya terus-menerus, mendekatinya, dan menanyakan nomor Handphone serta alamat rumahnya. Mereka tidak mudah menyerah. Mereka akan terus mencarinya, sampai ketemu.

Setelah mendapatkan nomor Handphone pujaan hatinya, mereka akan mengirim SMS yang isinya adalah rayuan-rayuan yang mengandung kata ‘love’, ‘kiss’, dan ‘cantik’, kemudian disusul dengan rentetan puisi-puisi yang ditulis khusus untuk pujaan hatinya itu. Jika tak jua membalasnya, anak-anak luar biasa itu akan menelponnya.Mereka akan menagih cinta yang disembunyikan rapat-rapat oleh pujaan hatinya.


Cinta yang mereka tawarkan sebenarnya sangat luar biasa. Namun orang-orang biasa tidak dapat merasakannya sebagai hal yang luar biasa, dan bahagia karenanya. Bagi orang-orang biasa, cinta mereka sangat naif dan agresif, bahkan cenderung menakutkan.

Sadarkah bahwa ketakutan-ketakutan yang berlebihan dalam menerima cinta mereka, dapat membuat mereka patah hati?

Kukepakkan sayap perasaanku
Untuk jelajahi hati yang sepi
Rasa yang kian merajai hati
Namun…dapatkah ku
Memendam rasa ini
Inginku bukan hanya jadi temanmu
Angin pun jadi saksi
Semua kurajut dalam mimpi
Impian-impian yang selama ini terpatri
Hampaku dalam penantian
It’s my M
-Penantian, karya Ika, 19 tahun, Kelas C1 SLB Tunas Kasih, Sleman-

Beberapa ekspresi cinta di atas, jika dilakukan oleh anak-anak di sekolah biasa, akan menjadi hal yang biasa saja. Orang-orang tidak akan begitu mempermasalahkannya, karena mencintai lawan jenis adalah kodrat bagi setiap orang. Namun, mengapa hal itu begitu dipermasalahkan jika dilakukan oleh murid-murid SLB?

Padahal, murid-murid SLB pada hakekatnya sama dengan anak-anak biasa. Pikiran kita lah yang menjadikan mereka berbeda. Selama ini, kita selalu terbiasa untuk menilai seseorang atau sesuatu dengan sebuah ukuran. Dari ukuran itu, manusia menjadi terkotak-kotakkan.

Ingatlah bahwa bentuk cinta itu tidak kotak. Bentuknya jauh lebih indah dan luar biasa.

Atas cinta mereka yang begitu indah dan luar biasa, jangan lari! Tengadahkan kedua tangan, tarik ke arah badan, lalu silangkan keduanya di depan dada, dengan jari telunjuk dan jari tengah dalam keadaan terbuka. Artinya, ucapkanlah terima kasih.

Sheromant

Man shows his love in silence, that's why he looks so selfish ;(

Don't Let Us Down

Hey I have 'friends' here.

I didn't think before that they're so smart,
speak well; write also.

Look...they all stand up
to show up their ability



but fuckin ass, for me it's just like show off their inability
what's their real purpose to speak hah?
really to answer it
or
to intimidate the other?!

and I also have friend
who really smart, I know she is
and she never speak up if it's no use
She doesn't wanna answer questions
cause she thought, if she answer it, she'll look doing such thing (show off)
but I think it's ok for her to speak up at that time

neither to intimidate!
nor to show off!

but to heLp...



watch out ur mouth guys, cause u'll never know that u've made somebody down.

P.S.: do U know, that something was wrong??

FILO & SOPHIE



Who am I?
If I've known me, so why I keep take some quizes that describe my personality?!

Why I live in this world?
maybe only God knows the answer

but my lecturer told me many times that I'm the winner
of what??
coz million sperms lost, and I won!

so I was born to d world

To live...
then...
What for?!

Quran told us to make the other happy,
I've ever thought like that
that was my old motivation to survive

but I can't
because I'm not happy

I don't wanna kill my self
that many diseases come from our thinking,
so I don't wanna live stressfully again

but I still
wanna make a happiness for other
I'm not selfish u know..

[+/-]

The Sorry in Me

[+/-]

(bukan) BOLA

[+/-]

Faktor X

[+/-]

Perempuan Punya Derita

[+/-]

Jerman 091189

[+/-]

Aku Ingin Dikorbankan

[+/-]

Cinta yang Luar Biasa

[+/-]

Sheromant

[+/-]

Don't Let Us Down

[+/-]

FILO & SOPHIE