Rabu, 08 Desember 2010

Jatuh Bangun Film Indonesia

Sebagai teks, film berkaitan dengan konteks. Pada jaman pendudukan Belanda, film digunakan sebagai eskapisme dari rutinitas kerja. Pada jaman pendudukan Jepang, film digunakan sebagai media propaganda. Film-film yang dibuat hingga tahun 1949 tersebut memang tidak bisa disebut sebagai film Indonesia sebab pembuatannya mengesampingkan kesadaran nasional (Biran, 2009: 45). Film Darah dan Doa (1950) besutan Usmar Ismail dapat dikatakan sebagai film pertama yang benar-benar mencerminkan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, hari pertama produksi film ini, 30 Maret, ditetapkan sebagai Hari Film Nasional Indonesia.



Selain Darah dan Doa, beberapa film Usmar yang lain―Enam Djam di Jogja (1951)―juga berbau perjuangan, sementara film Lewat Djam Malam (1954), menggambarkan Indonesia pasca merdeka. Menurut Asrul Sani, para sineas pada pascakemerdekaan berambisi membantu revolusi Indonesia melalui film (Imanjaya, 2006: 31). Para sineas ingin membuat film yang memiliki relevansi sosial budaya. Mereka tidak ingin film Indonesia dijadikan alat untuk lari dari kenyataan seperti pada saat penjajahan.



Aliran neorealisme asal Italia, diadopsi oleh film-film awal produksi Perfini tersebut. Konteks sosial politik Italia dan Indonesia pada saat itu sama-sama hancur lebur. Pasca fasisme dan perang menjadikan Italia babak belur dan melarat. Neorealisme pun merekam realita secara jujur. Kemiskinan, pengangguran, dan kesulitan ekonomi sehari-hari pun diangkat. Aliran ini tidak hanya mampu menguasai audiens tetapi juga mampu merepresentasikan jamannya. Faktor zeitgeist itu lantas tercermin dalam film-film Indonesia awal 1950-an.



Pada tahun 1955, Indonesia merayakan pemilu yang pertama setelah sepuluh tahun merdeka. Di tengah riuh rendah pemilu 1955, Usmar Ismail hadir dengan film bergenre komedi. Tidak tanggung-tanggung, film yang berjudul Tamu Agung ini menyabet gelar bergengsi sebagai film komedi terbaik Festival Film Asia 1956 di Hongkong (Imanjaya, 2006: 92). Meskipun tokoh tukang obat dalam film ini disebut-sebut sebagai parodi dari Soekarno, toh Tamu Agung lolos sensor.



Saat perfilman Indonesia mulai menggeliat, konflik ekonomi politik kembali meninabobokkannya. Dalam esainya yang berjudul Moments of Renewal: Alternative Ways of Viewing Indonesian Cinema, David Hanan menyebutkan dua periode kemunduran film Indonesia. Pertama, pada pertengahan tahun 1960-an. Konflik ekonomi politik menyebabkan penurunan produksi. Selama gejolak 30 September 1965, gudang-gudang berisi film-film yang dibuat oleh komunis dibakar atau sengaja dirusak (Biran, 2001: 225).



Meskipun demikian, pada 1970-an, film Indonesia sempat bangun sejenak dari tidurnya. Pada masa itu dikenal sebagai periode take off dari segi komersial. Generasi baru bermunculan. Mereka berusaha untuk membuat film berkualitas dan memiliki relevansi sosial dan tidak semata-mata mengikuti kaidah box office.



Sayangnya, pada 1990-an, perfilman Indonesia mengalami periode kemunduran kedua. Pada saat itu, televisi menjadi primadona. Selain itu, kontrol monopoli distribusi dan konsekuensi struktur yang berkaitan, menyebabkan penurunan jumlah film yang diproduksi dan penutupan berbagai tempat. Film Indonesia seakan menjadi tamu di negeri sendiri. Film-film asal Hollywood lah yang menjadi tuan rumahnya. Film Indonesia seakan mati suri.



Perfilman Indonesia hidup kembali dengan munculnya film musikal anak-anak Petualangan Sherina (2000). Kebangkitan film Indonesia besutan Riri Riza dan Mira Lesmana ini ditandai oleh antrean panjang penonton. Seolah ingin meniru kesuksesannya, banyak film bergenre serupa digarap seperti Joshua oh Joshua (2001). Genre lain yakni horor muncul pertama kali melalui film Jelangkung (2001). Lagi-lagi, para produser latah sehingga banyak film bergenre serupa. Setahun berselang, muncul era film remaja melalui Ada Apa dengan Cinta (2002). Film yang mempopulerkan Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra itu juga menjadikan film-film roman remaja bak cendawan di musim hujan.



Ukuran keberhasilan suatu film kerap diidentikkan dengan segi komersial. Padahal, film-film non komersial cenderung lebih bermutu baik dari segi tema, cerita, akting, maupun penggarapan. Buktinya film-film itu menyabet berbagai penghargaan bergengsi di luar negeri. Ironisnya, film-film itu kurang laku di pasaran domestik. Seharusnya yang bangga dengan film Indonesia itu kita, bukan mereka.



Ada baiknya para sineas Indonesia mengikuti pola pikir Hanung Bramantyo. Hanung berani keluar dari jalur. Ia membuat film yang berbeda dan awalnya dianggap tidak komersil. Tetapi buktinya Sang Pencerah (2010) justru laris di pasaran. Ironisnya, kuantitas dan kualitas Sang Pencerah tidak cukup untuk membuatnya masuk dalam nominasi FFI 2010. Apa harus pihak asing lagi yang mengakui?



Sebuah ulasan dari artikel berjudul Moments of Renewal: Alternative Ways of Viewing Indonesian Cinema, terarsip dalam http://upena.uitm.edu.my/publications/j02/j02_v2_2008/5.pdf



Referensi tambahan:

Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Imanjaya, Ekky. 2006. A to Z about Indonesian Film. Bandung: Penerbit DAR! Mizan.

0 komentar:

Posting Komentar

Jatuh Bangun Film Indonesia

| |

Sebagai teks, film berkaitan dengan konteks. Pada jaman pendudukan Belanda, film digunakan sebagai eskapisme dari rutinitas kerja. Pada jaman pendudukan Jepang, film digunakan sebagai media propaganda. Film-film yang dibuat hingga tahun 1949 tersebut memang tidak bisa disebut sebagai film Indonesia sebab pembuatannya mengesampingkan kesadaran nasional (Biran, 2009: 45). Film Darah dan Doa (1950) besutan Usmar Ismail dapat dikatakan sebagai film pertama yang benar-benar mencerminkan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, hari pertama produksi film ini, 30 Maret, ditetapkan sebagai Hari Film Nasional Indonesia.



Selain Darah dan Doa, beberapa film Usmar yang lain―Enam Djam di Jogja (1951)―juga berbau perjuangan, sementara film Lewat Djam Malam (1954), menggambarkan Indonesia pasca merdeka. Menurut Asrul Sani, para sineas pada pascakemerdekaan berambisi membantu revolusi Indonesia melalui film (Imanjaya, 2006: 31). Para sineas ingin membuat film yang memiliki relevansi sosial budaya. Mereka tidak ingin film Indonesia dijadikan alat untuk lari dari kenyataan seperti pada saat penjajahan.



Aliran neorealisme asal Italia, diadopsi oleh film-film awal produksi Perfini tersebut. Konteks sosial politik Italia dan Indonesia pada saat itu sama-sama hancur lebur. Pasca fasisme dan perang menjadikan Italia babak belur dan melarat. Neorealisme pun merekam realita secara jujur. Kemiskinan, pengangguran, dan kesulitan ekonomi sehari-hari pun diangkat. Aliran ini tidak hanya mampu menguasai audiens tetapi juga mampu merepresentasikan jamannya. Faktor zeitgeist itu lantas tercermin dalam film-film Indonesia awal 1950-an.



Pada tahun 1955, Indonesia merayakan pemilu yang pertama setelah sepuluh tahun merdeka. Di tengah riuh rendah pemilu 1955, Usmar Ismail hadir dengan film bergenre komedi. Tidak tanggung-tanggung, film yang berjudul Tamu Agung ini menyabet gelar bergengsi sebagai film komedi terbaik Festival Film Asia 1956 di Hongkong (Imanjaya, 2006: 92). Meskipun tokoh tukang obat dalam film ini disebut-sebut sebagai parodi dari Soekarno, toh Tamu Agung lolos sensor.



Saat perfilman Indonesia mulai menggeliat, konflik ekonomi politik kembali meninabobokkannya. Dalam esainya yang berjudul Moments of Renewal: Alternative Ways of Viewing Indonesian Cinema, David Hanan menyebutkan dua periode kemunduran film Indonesia. Pertama, pada pertengahan tahun 1960-an. Konflik ekonomi politik menyebabkan penurunan produksi. Selama gejolak 30 September 1965, gudang-gudang berisi film-film yang dibuat oleh komunis dibakar atau sengaja dirusak (Biran, 2001: 225).



Meskipun demikian, pada 1970-an, film Indonesia sempat bangun sejenak dari tidurnya. Pada masa itu dikenal sebagai periode take off dari segi komersial. Generasi baru bermunculan. Mereka berusaha untuk membuat film berkualitas dan memiliki relevansi sosial dan tidak semata-mata mengikuti kaidah box office.



Sayangnya, pada 1990-an, perfilman Indonesia mengalami periode kemunduran kedua. Pada saat itu, televisi menjadi primadona. Selain itu, kontrol monopoli distribusi dan konsekuensi struktur yang berkaitan, menyebabkan penurunan jumlah film yang diproduksi dan penutupan berbagai tempat. Film Indonesia seakan menjadi tamu di negeri sendiri. Film-film asal Hollywood lah yang menjadi tuan rumahnya. Film Indonesia seakan mati suri.



Perfilman Indonesia hidup kembali dengan munculnya film musikal anak-anak Petualangan Sherina (2000). Kebangkitan film Indonesia besutan Riri Riza dan Mira Lesmana ini ditandai oleh antrean panjang penonton. Seolah ingin meniru kesuksesannya, banyak film bergenre serupa digarap seperti Joshua oh Joshua (2001). Genre lain yakni horor muncul pertama kali melalui film Jelangkung (2001). Lagi-lagi, para produser latah sehingga banyak film bergenre serupa. Setahun berselang, muncul era film remaja melalui Ada Apa dengan Cinta (2002). Film yang mempopulerkan Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra itu juga menjadikan film-film roman remaja bak cendawan di musim hujan.



Ukuran keberhasilan suatu film kerap diidentikkan dengan segi komersial. Padahal, film-film non komersial cenderung lebih bermutu baik dari segi tema, cerita, akting, maupun penggarapan. Buktinya film-film itu menyabet berbagai penghargaan bergengsi di luar negeri. Ironisnya, film-film itu kurang laku di pasaran domestik. Seharusnya yang bangga dengan film Indonesia itu kita, bukan mereka.



Ada baiknya para sineas Indonesia mengikuti pola pikir Hanung Bramantyo. Hanung berani keluar dari jalur. Ia membuat film yang berbeda dan awalnya dianggap tidak komersil. Tetapi buktinya Sang Pencerah (2010) justru laris di pasaran. Ironisnya, kuantitas dan kualitas Sang Pencerah tidak cukup untuk membuatnya masuk dalam nominasi FFI 2010. Apa harus pihak asing lagi yang mengakui?



Sebuah ulasan dari artikel berjudul Moments of Renewal: Alternative Ways of Viewing Indonesian Cinema, terarsip dalam http://upena.uitm.edu.my/publications/j02/j02_v2_2008/5.pdf



Referensi tambahan:

Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Imanjaya, Ekky. 2006. A to Z about Indonesian Film. Bandung: Penerbit DAR! Mizan.

0 komentar:

Posting Komentar