Rabu, 08 Desember 2010

Materi & Eksistensi dari Kolaborasi China-Hollywood

Dominasi Hollywood di kancah perfilman telah menimbulkan keresahan di kalangan sineas dunia. Film-film alternatif tentu diharapkan sebagai tandingan. Munculnya film-film Cina di pasar global menjadi angin segar. Dengan demikian, pasar akan kembali aktif sehingga industri film akan mengalami progresivitas.



Adegan-adegan kungfu khas Cina dianggap sebagai komoditas yang sangat menjual. Hollywood melihat peluang bisnis ini lantas menggaet Cina untuk bekerja sama dalam pembuatan berbagai film laga. Banyak aktor Cina yang bermain di film Hollywood seperti Jet Li, Bruce Lee, dan Jackie Chan. Bahkan aktris Cina seperti Lucy Liu pun tak luput dari bidikan para produser Hollywood. Lucy Liu bersama dua aktris populer Hollywood yaitu Drew Barrymore dan Cameron Diaz dipercaya sebagai pemeran utama dalam film Charlie’s Angels (2000, 2003).



Pembahasan tentang film Cina yang sukses menembus Hollywood tentu tak dapat dipisahkan dari film Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000). Film arahan sutradara Taiwan, Ang Lee, itu berhasil menembus ajang paling bergengsi di kancah perfilman dunia. Film ini merupakan film berbahasa asing pertama yang meraih sepuluh nominasi Oscar sekaligus film Asia pertama yang meraih nominasi Film Terbaik. Film yang dibintangi Chow Yun-Fat itu bahkan meraih empat piala Oscar untuk kategori Film Berbahasa Asing, Pengarahan Seni, Sinematografi, dan Musik Orisinal. Reuters menyebut kesuksesan Crouching Tiger, Hidden Dragon itu sebagai tanda awal penerimaan film Asia di Amerika Serikat.



Sebelumnya, warga Amerika Serikat pada umumnya kurang menyukai film berbahasa asing tetapi film berbahasa Mandarin itu justru bercokol di deretan box office. Film ini merupakan film berbahasa asing terlaris dengan mendekati nilai US$ 100 juta di box office Amerika Utara. Film Cina lainnya, Avatar (2009), bahkan berhasil menggeser Titanic (1997) sebagai film terlaris sepanjang masa. Pendapatan total dari seluruh negara untuk film karya James Cameron itu mencapai US$ 1,859 miliar pada penjualan Senin 25 Januari 2010, mengalahkan pendapatan total Titanic senilai US$ 1,843 miliar pada periode 1997-1998.



Kolaborasi dengan Hollywood tentu menghasilkan banyak keuntungan materi dan eksistensi. Namun percampuran budaya dengan barat itu tak luput dari konsekuensi. Kehadiran film Cina secara global menimbulkan ambiguitas identitas. Dalam artikel berjudul Transnational China and Hollywood-ized Chineseness: interventions and discontents, Kin-Yan Szeto memaparkan bahwa identitas Cina masih tertutup bayang-bayang Hollywood. Pemahaman tentang kungfu, yang jelas-jelas asli Cina, justru berasal dari perspektif barat. Hal ini lah yang kerap dikhawatirkan dari sebuah film transnasional.



Kekhawatiran itu terlalu berlebihan. Saya berharap banyak pada film-film Cina. Propaganda Hollywood harus mendapat tandingan yang sepadan. Film IP Man 2 (2010) menyerang Amerika Serikat secara terang-terangan. Dalam film tersebut, petinju Amerika dikisahkan sangat biadab dan kerap melecehkan seni bela diri Cina. Kalau bukan Cina, siapa lagi yang berani?




Sebuah ulasan dari artikel berjudul Transnational China and Hollywood-ized Chineseness: interventions and discontents, terarsip dalam http://www.ejumpcut.org/currentissue/SzetoChina/index.html

Referensi tambahan:

http://www.disctarra.com/main/main_news_info.aspx?nid=4335

http://www.antaranews.com/berita/1264547712/avatar-film-terlaris-sepanjang-masa

Jatuh Bangun Film Indonesia

Sebagai teks, film berkaitan dengan konteks. Pada jaman pendudukan Belanda, film digunakan sebagai eskapisme dari rutinitas kerja. Pada jaman pendudukan Jepang, film digunakan sebagai media propaganda. Film-film yang dibuat hingga tahun 1949 tersebut memang tidak bisa disebut sebagai film Indonesia sebab pembuatannya mengesampingkan kesadaran nasional (Biran, 2009: 45). Film Darah dan Doa (1950) besutan Usmar Ismail dapat dikatakan sebagai film pertama yang benar-benar mencerminkan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, hari pertama produksi film ini, 30 Maret, ditetapkan sebagai Hari Film Nasional Indonesia.



Selain Darah dan Doa, beberapa film Usmar yang lain―Enam Djam di Jogja (1951)―juga berbau perjuangan, sementara film Lewat Djam Malam (1954), menggambarkan Indonesia pasca merdeka. Menurut Asrul Sani, para sineas pada pascakemerdekaan berambisi membantu revolusi Indonesia melalui film (Imanjaya, 2006: 31). Para sineas ingin membuat film yang memiliki relevansi sosial budaya. Mereka tidak ingin film Indonesia dijadikan alat untuk lari dari kenyataan seperti pada saat penjajahan.



Aliran neorealisme asal Italia, diadopsi oleh film-film awal produksi Perfini tersebut. Konteks sosial politik Italia dan Indonesia pada saat itu sama-sama hancur lebur. Pasca fasisme dan perang menjadikan Italia babak belur dan melarat. Neorealisme pun merekam realita secara jujur. Kemiskinan, pengangguran, dan kesulitan ekonomi sehari-hari pun diangkat. Aliran ini tidak hanya mampu menguasai audiens tetapi juga mampu merepresentasikan jamannya. Faktor zeitgeist itu lantas tercermin dalam film-film Indonesia awal 1950-an.



Pada tahun 1955, Indonesia merayakan pemilu yang pertama setelah sepuluh tahun merdeka. Di tengah riuh rendah pemilu 1955, Usmar Ismail hadir dengan film bergenre komedi. Tidak tanggung-tanggung, film yang berjudul Tamu Agung ini menyabet gelar bergengsi sebagai film komedi terbaik Festival Film Asia 1956 di Hongkong (Imanjaya, 2006: 92). Meskipun tokoh tukang obat dalam film ini disebut-sebut sebagai parodi dari Soekarno, toh Tamu Agung lolos sensor.



Saat perfilman Indonesia mulai menggeliat, konflik ekonomi politik kembali meninabobokkannya. Dalam esainya yang berjudul Moments of Renewal: Alternative Ways of Viewing Indonesian Cinema, David Hanan menyebutkan dua periode kemunduran film Indonesia. Pertama, pada pertengahan tahun 1960-an. Konflik ekonomi politik menyebabkan penurunan produksi. Selama gejolak 30 September 1965, gudang-gudang berisi film-film yang dibuat oleh komunis dibakar atau sengaja dirusak (Biran, 2001: 225).



Meskipun demikian, pada 1970-an, film Indonesia sempat bangun sejenak dari tidurnya. Pada masa itu dikenal sebagai periode take off dari segi komersial. Generasi baru bermunculan. Mereka berusaha untuk membuat film berkualitas dan memiliki relevansi sosial dan tidak semata-mata mengikuti kaidah box office.



Sayangnya, pada 1990-an, perfilman Indonesia mengalami periode kemunduran kedua. Pada saat itu, televisi menjadi primadona. Selain itu, kontrol monopoli distribusi dan konsekuensi struktur yang berkaitan, menyebabkan penurunan jumlah film yang diproduksi dan penutupan berbagai tempat. Film Indonesia seakan menjadi tamu di negeri sendiri. Film-film asal Hollywood lah yang menjadi tuan rumahnya. Film Indonesia seakan mati suri.



Perfilman Indonesia hidup kembali dengan munculnya film musikal anak-anak Petualangan Sherina (2000). Kebangkitan film Indonesia besutan Riri Riza dan Mira Lesmana ini ditandai oleh antrean panjang penonton. Seolah ingin meniru kesuksesannya, banyak film bergenre serupa digarap seperti Joshua oh Joshua (2001). Genre lain yakni horor muncul pertama kali melalui film Jelangkung (2001). Lagi-lagi, para produser latah sehingga banyak film bergenre serupa. Setahun berselang, muncul era film remaja melalui Ada Apa dengan Cinta (2002). Film yang mempopulerkan Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra itu juga menjadikan film-film roman remaja bak cendawan di musim hujan.



Ukuran keberhasilan suatu film kerap diidentikkan dengan segi komersial. Padahal, film-film non komersial cenderung lebih bermutu baik dari segi tema, cerita, akting, maupun penggarapan. Buktinya film-film itu menyabet berbagai penghargaan bergengsi di luar negeri. Ironisnya, film-film itu kurang laku di pasaran domestik. Seharusnya yang bangga dengan film Indonesia itu kita, bukan mereka.



Ada baiknya para sineas Indonesia mengikuti pola pikir Hanung Bramantyo. Hanung berani keluar dari jalur. Ia membuat film yang berbeda dan awalnya dianggap tidak komersil. Tetapi buktinya Sang Pencerah (2010) justru laris di pasaran. Ironisnya, kuantitas dan kualitas Sang Pencerah tidak cukup untuk membuatnya masuk dalam nominasi FFI 2010. Apa harus pihak asing lagi yang mengakui?



Sebuah ulasan dari artikel berjudul Moments of Renewal: Alternative Ways of Viewing Indonesian Cinema, terarsip dalam http://upena.uitm.edu.my/publications/j02/j02_v2_2008/5.pdf



Referensi tambahan:

Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Imanjaya, Ekky. 2006. A to Z about Indonesian Film. Bandung: Penerbit DAR! Mizan.

Film Nasional: Tamu di Negeri Sendiri

“Generasi kita nggak mempan dikasih tulisan. Kita ini generasi who gets philosophy in the movie” ujar Annisa di film Cin(T)a. Dalam film indie besutan Sammaria Simanjuntak itu, Annisa, sang tokoh wanita dan Cina, sang tokoh pria, berdebat sengit. Menurut Annisa, memang demikian lah adanya generasi muda Indonesia. Dengan sinis, Cina membantah, “Ditulis saja lah, bikin film terlalu instan”. Namun realita lebih memihak Annisa.



Pemetaan kondisi menjadikan masalah teridentifikasi. Budaya instan telah menjadi biasa, mungkin karena dibiasakan. Alih-alih menganggapnya sebagai racun yang mematikan generasi bangsa, kenapa tidak dimanfaatkan saja sebagaimana yang dilakukan para sineas Rusia. “The cinema is the greatest medium of mass agitation”, Stalin beralasan.



Merujuk pada teori media Marxist, media tak hanya diartikan sebagai sarana penyebar informasi tetapi juga dikritisi sebagai lahan penanaman ideologi dominan (Littlejohn, 2008: 432). Sedangkan media yang paling hebat dalam indoktrinasi ideologi ialah film, paling tidak demikian menurut Stalin.



Teori ekonomi politik media yang berangkat dari pemikiran Vincent Mosco, menyoroti kepemilikan media. Selain menginginkan keuntungan material, tiap-tiap kelompok yang berkepentingan, dalam hal ini pemilik media, tentu berusaha menyebarkan ideologi masing-masing untuk mengukuhkan dominasinya. Ketika dominasi kepentingan pemilik media bergulir, terjadilah hegemoni, yang akan menjajah alam bawah sadar manusia.



Bahaya itu tampaknya mulai disadari. Bukan rahasia bahwa propaganda halus khas film Hollywood biasanya lebih mengena. Film nasional lah yang harus melawan gempuran film Hollywood. Sebab, film nasional bertanggung jawab terhadap representasi identitas nasional bangsa. Untuk itu, film nasional harus diproteksi.



Siasat yang muncul ke permukaan ialah dengan pembatasan kuota film impor. Hal itu dibahas dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada 1993, saat film Hollywood begitu mendominasi pasar perfilman dunia. Ide tersebut bukanlah yang pertama. Sebelumnya, berbagai asosiasi film di Kanada, Australia, Inggris, Perancis, dan Italia telah melakukan pembatasan kuota guna melindungi film nasional masing-masing.



Film nasional diharapkan menjadi tameng dari film-film Hollywood yang dianggap bertentangan dengan kultur bangsa. Namun beberapa akademisi yang mempelajari perfilman seperti Thomas Elsaesser, Stephen Crofts, dan Andrew Higson membantahnya. Menurut Elsaesser, Hollywood justru menjadi komponen utama pembentuk kultur film nasional. Sebab, banyak produser film domestik yang justru mengadaptasi film-film Hollywood ke dalam film-film nasional mereka.



Film hasil indigenasi yang sukses dan komersil tak lain ialah besutan sutradara berkebangsaan Perancis, Luc Besson. Melalui film Nikita (1990), The Professional (1994), dan The Fifth Element (1997), ia meraup keuntungan yang fantastis. Sayangnya, lantaran bersetting di New York, film indigenasi karya Besson menggambarkan Perancis yang abu-abu, seakan tertutup oleh bayang-bayang Hollywood. Masalah ini juga dialami sutradara berkebangsaaan Australia, Baz Luhrmann. Meskipun syutingnya dilakukan di Sydney, tetapi film Moulin Rouge (2001) justru menggambarkan suasana kota Paris.



Permasalahan yang dialami dua sutradara terkemuka di atas, ditanggapi oleh Higson. Pemahaman tentang film nasional selama ini hanya sebagai film-film yang menceritakan sebuah bangsa yang terbatas pada wilayah, masyarakat, dan tertutup dari identitas lain selain identitas nasionalnya (Higson, 2000: 66). Higson mengistilahkan film-film Besson dan film Moulin Rouge sebagai film transnasional, berdasarkan basis produksi dan distribusinya.



Seharusnya, kolaborasi dengan Hollywood tidak perlu dipermasalahkan. Justru itu akan semakin membuat film Indonesia eksis di mata dunia. Daripada meributkan tentang pembatasan kuota film impor, lebih baik terus menggarap film-film yang bermutu.



Apa jadinya jika film-film asing dibatasi lantas yang ada hanya film-film horor porno?



Film nasional Indonesia memang sudah saatnya jadi tuan rumah di negeri sendiri.



Tetapi, bersaing itu bukan dengan menutup jalan lawan kan? Bagaimana bisa bersaing jika hanya sendirian?




Sebuah ulasan dari artikel berjudul National Cinema, Political Economy, and Ideology, terarsip dalam http://www.filmreference.com/encyclopedia/Independent-Film-Road-Movies/National-Cinema-NATIONAL-CINEMA-POLITICAL-ECONOMY-AND-IDEOLOGY.html

Ini Bukan Sekedar

Si anak menteng tiba di Jakarta, kali ini sebagai presiden Amerika. Dalam pidatonya, Obama―untuk kesekian kalinya―memuji demokrasi di Indonesia. “Bhinneka Tunggal Ika, Unity in Diversity,” ujarnya berulang kali. Sorak sorai pun bergemuruh di seantero Balairung Universitas Indonesia. Obama memang notabene lebih populer dibandingkan presiden Austria, yang bertandang ke Indonesia pada saat yang sama. Alasannya, Obama kecil pernah tinggal di Menteng selama empat tahun. “Indonesia bagian dari diri saya,”demikian ujar Obama secara fasih dalam bahasa Indonesia. Saking fenomenalnya, penggalan pidato Obama itu menjadi judul berbagai artikel berita.



RT: @wisnu_prasetya: Seharusnya yang mengatakan “Indonesia bagian dari diri saya” itu kita, bukan Obama.



Sebuah kalimat yang pedas, dari seorang teman, yang membuat saya berpikir keras.



Sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa daerah di Indonesia merasa dianaktirikan oleh pemerintah yang jawasentris. Kekayaan alamnya dikeruk, hasilnya dibawa ke Jawa, sementara keuntungan yang mereka terima tidak seberapa. Paling tidak, itulah yang banyak dikeluhkan para putra daerah yang bersangkutan. Saya tidak tahu dengan pasti apa yang terjadi.



Untuk meredam amarah yang bergejolak, tidak cukup dengan pemberian status Daerah Istimewa. Penanganan konflik bersenjata dan bencana alam harus merata. Jika tidak, jangan salahkan jika mereka tidak merasa menjadi Indonesia, sebagaimana judul esai Raisa Kamila.



“Untuk apa mencintai negeri yang tidak mencintai kita?” saya pernah mendengar selentingan ini semenjak kecil, dari kakak saya, dan teringat kembali setelah membaca esai Raisa.



Apakah lantas mencintai tanah air dianggap tolol dan sia-sia?

Ibaratnya, cinta kita tak terbalas, hanya bertepuk sebelah tangan. Untuk apa diteruskan? Apa lebih baik kita segera mengurus green card dan menjadi warga negara Amerika, yang membuat rakyatnya sejahtera?



Ironis. Sebuah tayangan infotainment di televisi diberhentikan sementara oleh KPI lantaran mengangkat mitos-mitos seputar Merapi. Padahal, sebagaimana yang diucapkan dalang edan Sudjiwo Tedjo, masyarakat modern sebenarnya memiliki lebih banyak mitos. Demokrasi itu mitos. Bagaimana mungkin kebenaran diserahkan pada orang banyak?



Atas nama demokrasi, orang-orang mulai berani angkat bicara. Semua protes. Ini diprotes. Itu diprotes. Tentang hakekat cinta tanah air, banyak orang menolak simbol-simbol yang selama ini diagung-agungkan.



Menurut mereka, cinta tanah air tidak ada hubungannya sama sekali dengan upacara.

Seremonial semacam itu,sangatlah menyiksa bagi sebagian besar orang, terutama orang-orang seperti ini:

- RT @hawwinbf: aku nggak kangen upacara bendera, sumpah.

- RT @YL_meganusa: Flag ceremony has nothing to do with our nationalism. Trust me.

Hehe. Mengesampingkan fakta bahwa mereka adalah orang-orang terapatis yang pernah saya kenal dan berani mengumbar keapatisan mereka, tetapi pada kenyataannya, semua orang malas upacara bendera.



Apa buktinya masih kurang?

Tiap kali mahasiswa (dalam suatu organisasi) menerima undangan upacara, pasti berebut. Berebut bilang "Kamu saja ya yang datang!".



Bedanya, saat masih berseragam merah putih hingga abu-abu putih dulu, kita tidak punya pilihan lain. Kalau tidak berkenan tersengat matahari pagi, silahkan ngumpet di kolong meja. Atau ada alternatif yang lebih berkelas, pura-pura sakit lalu tidur dengan nyaman di UKS. Tapi pada kenyataannya, lebih banyak yang memilih untuk bergabung ke tengah lapangan. Ada dua kemungkinan: Pertama, ia memang sadar akan pentingnya upacara (entah lantaran menghormati jasa pahlawan atau demi menjaga muka di depan guru). Kedua, ia tidak punya keberanian untuk bersembunyi di kolong meja atau pura-pura sakit.



Sayangnya, suka tidak suka, jika berada dalam instansi pemerintah, mereka harus mengikuti upacara, menghapal lagu Indonesia Raya, dan mengingat kelima sila Pancasila. Jika tidak, orang-orang akan menganggapnya sebagai sebuah hal yang memalukan.



Cinta tanah air memang tidak sekedar berdiri beberapa jam di terik matahari.

Cinta tanah air memang tidak sekedar menghapal beberapa bait lagu.

Cinta tanah air memang tidak sekedar mengingat beberapa baris kalimat.



Tapi apa susahnya?

Kenapa sombong sekali?



Ini bukan tentang upacara, Indonesia Raya, dan Pancasila.



Sebelum merdeka, para pahlawan bertaruh nyawa untuk ‘sekedar’ mengibarkan sang merah putih dan mengumandangkan Indonesia Raya.



Sekarang, bisakah kita hapus kata ‘sekedar’?



Pepatah mengatakan, kalau ingin dicintai, kita harus mencintai terlebih dahulu. Cinta memang pamrih. Tidak ada cinta tulus di dunia kecuali cinta orang tua terhadap anaknya. Semuanya murni konflik kepentingan semata. Kenapa tidak dimanfaatkan saja?



Kritik itu tanda cinta, ada yang berdalih demikian. Tetapi jika kritik tidak disampaikan dengan benar, jangan-jangan ia justru membunuh secara perlahan.



Secara psikologis, kata-kata negatif yang diucapkan berulang kali akan menjadi sugesti. Lambat laun, ia akan pasrah, menerima nasib bahwa ia memang payah. Padahal Dahlan Iskan sudah menyadarinya sejak lama. Awalnya ia mengkritik Persebaya habis-habisan. Tapi tidak mempan juga. Akhirnya ia sokong spirit juang tim sepakbola Jawa Timur itu dengan menjulukinya Green Force. Ternyata hasilnya justru positif.



Kenapa kita tidak terinspirasi Panji Pragiwaksono, yang menjadikan cinta tanah air sebagai tren?

Kenapa kita tidak berhenti memberi judge kepada orang lain?



We’re just the same human that created by the same God.

Evaluation as right or wrong is only given by God.

People have no right on it.



P.S.: Hari Pahlawan dirayakan di kota Pahlawan, sebuah kombinasi yang sempurna.

Teks Menentukan Konteks

Sebuah pintu lintas generasi terbuka melalui film klasik. Pernyataan tersebut dilontarkan Lisabona Rahman, manager program Kineforum DKJ, dalam Menikmati Film Klasik, koran Republika edisi Sabtu 9 Oktober 2010. Dengan menonton film klasik, kita dapat menelisik perkembangan film, khususnya yang diproduksi pada kisaran tahun 1900-1950.



Film-film klasik yang menguasai jamannya masih menjadi rujukan para sineas hingga kini. Pertama, dalam hal teknologi. Kedua, dalam hal penguasaan audiens. Vintage, pemujaan terhadap sesuatu yang berasal dari masa lalu, menjadi tren di segala bidang, tidak hanya dalam dunia fashion tetapi juga dalam industri perfilman.



Apresiasi terhadap film-film klasik memang layak diberikan. Berpuluh-puluh dekade silam, para sineas dapat menguasai teknologi sedemikian rupa. The Battleship Potemkin (1925) dapat dikatakan sebagai pelopor editing film di dunia. Citizen Kane (1941) memperkenalkan teknik kilas balik yang semakin menegaskan keunggulan film dibandingkan teater panggung yang notabene saat itu masih menjadi primadona. Sementara The Bicycle Thief (1948) mengangkat realita dengan teknologi yang sederhana namun tetap bersahaja.



Kecanggihan teknologi di atas akan menjadi sia-sia jika pesan dalam film tidak tersampaikan. Maka dari itu, sebelum membuat film, para sineas selalu memperhitungkan tingkat intelektual dan psikologis penonton yang menjadi target. Menurut Giles dan Wiemann, teks mampu menentukan konteks, bukan sebaliknya teks menyesuaikan diri dengan konteks (Hamad, 2004: 14). Jadi, film, dalam hal ini dimaknai sebagai teks, tidak semata-mata menyesuaikan diri dengan konteks sosio kultural masyarakat pada jamannya. Alih-alih demikian, film lah yang menentukan konteks. Melalui teks, dalam hal ini tayangan audio visualnya, sebuah film dapat menguasai audiens dan mempengaruhi pola pikir, sikap, dan perilakunya.



Pola imitasi tersebut dapat dijelaskan oleh teori kultivasi. Ada sebuah prediksi bahwa tayangan kekerasan berkelindan dengan peningkatan perilaku agresif yang sesungguhnya (Severin dan Tankard, 2008: 339). Kekhawatiran tentang dampak paparan media telah dirasakan sejak awal perkembangan film melalui The Great Train Robbery (1903). Film besutan Edwin S. Porter itu mereka ulang adegan kekerasan perampokan kereta. Melalui film cerita pertama yang dibuat Amerika Serikat tersebut, timbul kesadaran akan kemampuan film dalam menyerang kognisi, afeksi, dan psikomotor audiens.



Kedahsyatan sebuah film disadari betul oleh Stalin, yang memegang tampuk kepemimpinan Rusia pada saat The Battleship Potemkin diproduksi. Setali tiga uang dengan rezim pendahulunya, Lenin, ia juga menaruh perhatian khusus terhadap film. Bahkan, ia mengintervensi film dengan lebih brutal. Ia sadar akan kedahsyatan film untuk menghasut massa. Harapannya, seusai menonton film ini, rakyat Rusia akan memihak Bolshevik, partai yang memimpin revolusi Rusia pada Oktober 1917.



Propaganda film-film klasik Rusia memang sangat kental. Namun, meskipun lebih tidak kentara, propaganda halus khas Hollywood biasanya lebih mengena. Rosebud, pesan kematian Kane, merupakan kata kunci yang mendukung dugaan bahwa sosoknya ada di dunia nyata yakni William Randolph Hearst. Berdasarkan Louis Pizzitola, penulis “Hearst Over Hollywood”, Rosebud adalah panggilan dari teman Hearst, Orrin Peck, yang diberikan kepada Ibu Hearst (Asdaru, 2008). Melalui film Citizen Kane, Orson Welles, sang sutradara sekaligus pemeran Kane, secara tersirat ingin menyampaikan bahwa meskipun kuat, sang raja media tersebut ‘cacat’.



Sebagai jalan tengah antara film propaganda Rusia dan film populer Hollywood, neorealisme Italia menjadi pilihan Bung Karno. Film-film neorealisme Italia semacam The Bicycle Thief mengangkat tema-tema kemiskinan yang dialami masyarakat kelas bawah Italia. Para sineas Italia menyerang emosi, bukan kognisi. Banalitas kemiskinan yang mengaduk-aduk emosi penonton sengaja disuguhkan demi meraih empati.



Bedanya dengan genre film klasik pendahulunya, neorealisme Italia tidak hanya mampu menguasai audiens tetapi juga mampu merepresentasikan jamannya. Faktor zeitgeist itu kemudian diadopsi oleh Usmar Ismail, pertama-tama melalui film Darah dan Doa (1950), untuk membuat film yang benar-benar mencerminkan kepribadian bangsa (Biran, 2009: 45). Oleh karena itu, hari pertama produksi film ini, 30 Maret, ditetapkan sebagai Hari Film Nasional Indonesia.



Referensi:

Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit.

Severin, Werner J. James W. Tankard. 2008. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Kencana.

Menikmati Film Klasik. Koran Republika edisi Sabtu 9 Oktober 2010.

http://asdaru.multiply.com/journal/item/13/sejarah_film

http://jikala.multiply.com/journal/item/2

http://komparatismedansinemasastra.wordpress.com/2009/06/22/realisme-dalam-sinema-neo-realisme-italia-dan-realisme-klasik-hollywood-agnes-karina-rosari/

http://pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/94019-9-587748537379.doc.

Pesan Kematian Kane

“Rosebud…”



Sepenggal kata itu lah yang bergulir dari bibir Charles Foster Kane di penghujung hidupnya. Ia meninggal dengan menyisakan tanya. Siapakah Rosebud? Atau apa itu Rosebud? Apakah itu adalah pesan kematian dari sang raja media?



Layaknya kisah-kisah detektif, investigasi pun dimulai. Bedanya, sosok yang berperan dalam pencarian makna Rosebud ialah Thompson, seorang jurnalis. Atas perintah atasannya, Thompson menggali informasi dari orang-orang terdekat Kane. Setiap wawancara yang dilakukan Thompson dengan para narasumber, menggunakan alur kilas balik. Bedanya dengan film-film modern, baik alur masa kini maupun masa lalu di film Citizen Kane (1941) ini sama-sama hitam putih. Jadi, kita harus memerhatikan dengan seksama jalan ceritanya.



Hingga akhir pencarian Rosebud, penonton seakan dibuat kecewa dengan nihilnya hasil. Alih-alih menemukan arti dari Rosebud, Thompson justru menguak jati diri Kane. Awalnya, Kane digambarkan sebagai sosok muda yang sempurna. Ia kaya, pintar, tampan, dan terkenal. Sebagai wanita, saya juga sempat terkesima dengan Kane yang tampak idealis. Bagaimana tidak? Ia menolak tawaran untuk mengelola sebuah tambang emas dan justru melirik New York Inquire, yang pada saat itu belum menjadi koran nomor satu di Amerika. Porsi idealis Kane bertambah besar saat ia menandatangani sebuah pernyataan bahwa New York Inquire akan memberitakan setiap peristiwa secara jujur.



Ironisnya, pernyataan tersebut menyerang balik dirinya di kemudian hari. New York Inquire menulis review tentang penampilan penyanyi opera, Susan Alexander Kane, istrinya, dengan sangat pedas. Ketika Kane berang, sang penulis artikel tersebut menyodorkan bukti otentik pernyataan Kane untuk memberitakan setiap peristiwa dengan jujur. Kane pun tercekat. Karakter protagonis yang sejak awal dibangun runtuh seketika.



Kane menjelma menjadi pribadi yang sangat menyebalkan. Ia jadi terlihat sangat otoriter dan keras kepala. Istrinya pun menjadi korban. Susan dipaksa untuk terus menyanyi meskipun jelas sekali ia adalah seorang penyanyi opera yang parah. Pada saat Susan hendak meninggalkan Kane, Kane sempat memohon agar Susan tetap tinggal. Sayangnya gumaman Kane “You can’t do this to me”, membuat Susan yakin bahwa sikap otoriter Kane sudah tidak dapat ditolerir. Kane memaksa orang untuk melakukan apa yang ia mau. Kane juga memaksa orang berpikir seperti yang ia mau. Orson Welles, sang sutradara sekaligus pemeran Kane, membangun karakter Kane dengan abu-abu. Demikianlah manusia. Tidak mungkin ia seratus persen baik begitu pula sebaliknya. Penggambaran sosok Kane sangat manusiawi.



Selain karakterisasi yang menurut saya sangat brilian, teknik flash back yang dipilih juga ciamik. Pada masa itu, jalan cerita kilas balik susah untuk dibayangkan. Ide yang hingga kini menginspirasi film-film modern. Bedanya, di film modern, alur masa kini divisualisasikan dengan berwarna sedangkan alur masa lalu hitam putih. Alur kilas balik ini juga menegaskan keunggulan film dibandingkan teater panggung yang notabene saat itu masih menjadi primadona.



Teknik flash back tentu ditunjang oleh sinematografi yang sangat cerdas. Gregg Toland sangat paham cara penempatan kamera dan pengambilan gambar. Tata cahaya dan lensa yang ia gunakan menghasilkan kedalaman fokus gambar. Tak heran jika The American Film Institute mendaulat film ini sebagai 100 film terbaik.



Secara pribadi, saya sangat menyukai film ini atas berbagai alasan. Pertama, Citizen Kane berbau pers dan investigasi. Kedua, karakter Kane abu-abu. Ketiga, ada indikasi bahwa Kane menyimpan duka masa kecil yang membekas dan berpengaruh terhadap pembentukan kepribadiannya. Sebagaimana quote teori Chaos yang ada di awal film Hollywood favorit saya, The Butterfly Effect, “It has been said that something as small as the flutter of a butterfly's wing can ultimately cause a typhoon halfway around the world”.



Rosebud ternyata sebuah kata pada papan seluncur ski Kane di masa kecil. Sayangnya, tidak ada seorang pun yang tahu karena pada akhirnya papan itu dibakar. Papan ski bertuliskan Rosebud itu ia mainkan di hari terakhir kebersamaannya dengan ibunya. Agar kaya raya, ia dipaksa berpisah dengan ibu yang sangat dicintainya. Ia memendam amarah dan kekecewaan mendalam sedari kecil. Ia pun membalas kekecewaannya itu dengan bekerja keras hingga dapat membangun Xanadu yang sangat megah. Sikap keras kepalanya juga tak dapat disalahkan. Pada saat kanak-kanak, ia tidak diberi kebebasan untuk memilih. Pada saat dewasa, ia membalasnya dengan memaksa orang lain melakukan sesuatu tanpa memberi mereka kebebasan untuk memilih.



Sosok Kane diduga ada di dunia nyata, yakni William Randolph Hearst. Isu yang beredar, Rosebud ialah panggilan Hearst kepada istrinya, Marion. Ibu Marion bernama Rose. Berdasarkan Louis Pizzitola, penulis “Hearst Over Hollywood”, Rosebud adalah panggilan dari teman Hearst, Orrin Peck, yang diberikan kepada Ibu Hearst (Asdaru, 2008).



Entahlah. Orang-orang hanya bisa menduga-duga. Dan hingga kini, Rosebud masih menjadi misteri.




Referensi:

http://asdaru.multiply.com/journal/item/13/sejarah_film

Rekonstruksi Pendukung Revolusi

“The cinema is the greatest medium of mass agitation” Stalin



Pasca revolusi Oktober 1917, Rusia hancur lebur. Perang mengakibatkan penderitaan berkepanjangan. Panji Wibowo dalam artikelnya yang berjudul Gairah Mencipta di Negeri (tanpa) Sensor, mengatakan bahwa 160 juta rakyat Rusia dilanda kemiskinan, lebih dari setengahnya buta huruf. Untuk memulihkan keadaan dengan cepat, pemerintah yang berkuasa saat itu, Lenin, memilih film sebagai media propaganda. Secara logika, untuk memahami film tidak perlu kemampuan baca tulis. Lagipula, film dapat menjangkau seluruh rakyat Rusia yang tersebar di wilayah yang sangat luas.



Semenjak kematian Lenin pada 1924, tampuk pemerintahan beralih pada Stalin. Namun hal itu tak lantas menjadikan pemerintah abai terhadap perfilman. Stalin justru mengintervensi film dengan lebih brutal. Ia sadar akan kedahsyatan film untuk menghasut massa. Pada masa pemerintahannya, film The Battleship Potemkin (1925) diproduksi. Film yang disutradarai oleh Sergei Eisenstein ini merekonstruksi ulang pemberontakan awak kapal perang Potemkin terhadap pemerintah Tsar pada 1905.



Dalam film bisu hitam putih ini, pemerintah Tsar digambarkan dengan sangat kejam. Seorang ibu yang memohon belas kasihan serdadu Tsar lantaran anaknya sakit keras tak digubris sedikit pun. Bahkan, serdadu Tsar menembak sang ibu yang sedang menggendong anaknya itu. Sontak saja, serdadu Tsar bakal menuai caci. Sedangkan para pelaut Potemkin akan meraih simpati. Harapan pemerintah, seusai menonton film ini, rakyat Rusia akan memihak Bolshevik, partai yang memimpin revolusi saat itu.



Sebagaimana film-film klasik Rusia pada umumnya, film yang dipersembahkan untuk memperingati 20 tahun revolusi ini, sarat propaganda. Sejak awal, film ini dibuka dengan teks yang sangat provokatif, “Revolution is war. Of all the wars known in history. It is the only lawful, rightful, just, and truly great war. In Russia, this war has been declared and begun”. Kutipan pernyataan Lenin pada tahun 1905 itu menegaskan bahwa perang ialah satu-satunya jalan untuk mencapai revolusi.



Tak ketinggalan, ideologi komunis Marxist khas Bolshevik, pun disusupkan. Seorang pekerja kapal membuang piring bertuliskan Give us today our daily bread, yang merupakan penggalan doa Katolik “Bapa Kami”. Bahkan, seorang pendeta―berjenggot putih panjang bak santa claus dan memegang salib dijadikan bulan-bulanan. Alih-alih mematuhi nasehat pendeta untuk tidak melakukan kekerasan, seorang pelaut justru menendangnya. Sang pendeta pun pura-pura meninggal lantaran takut dibunuh. Harap maklum, komunisme yang dianut oleh rezim yang berkuasa di Rusia memang menganggap agama sebagai penghambat revolusi.



Terlepas dari propagandanya yang digambarkan dengan sangat ‘kasar’, Eisenstein terbilang sangat brilian. Tak ayal jika film ini berhasil menyabet gelar The Greatest Film of All Time dalam Brussel’s World Fair 1958. Hal yang banyak dipuji dari film ini ialah teknik editingnya yang menawan. Dapat dikatakan bahwa film ini adalah pelopor editing film di dunia. Montage dalam film Rusia sangat khas. Sementara editing hanyalah bagian kecil dari montage. Eisenstein memperkenalkan jenis baru montage yakni collision (Wibowo, 2006). Prinsip dasarnya ialah dengan menubrukkan dua gambar yang berbeda agar memberikan makna yang baru. Perguliran cerita tidak terbatas pada temporal melainkan spasial. Intelectual montage dari Eisenstein menyerang kognisi sehingga audiens lebih aktif dalam memahami film.



Peran serta pemerintah Rusia lah yang memajukan industri perfilman Rusia. Semenjak Lenin berkuasa, sekolah-sekolah film didirikan. Eisenstein ialah salah satu murid yang dididik sekolah film Rusia. Akses film pun menjadi mudah karena harganya murah sehingga seluruh rakyat dapat menikmatinya (Wibowo, 2006). Alangkah baiknya jika pemerintah Indonesia berlaku sama, dengan mendukung sineas-sineas Indonesia. Alih-alih demikian, pemerintah Indonesia justru ‘meniru’ intervensinya, misalnya dengan melarang pemutaran film Balibo.



Seharusnya kita malu. Puluhan tahun yang lalu, dengan keterbatasan teknologi dan maraknya intervensi, para sineas Rusia dapat menghasilkan film yang sangat berkualitas.




Referensi:

http://jikala.multiply.com/journal/item/2

Neorealisme Italia: Jalan Tengah Perfilman Dunia

Berani Keluar dari Mainstream Hollywood



Usmar Ismail, tokoh perfilman Indonesia, sempat berdialektika dengan Presiden Soekarno tentang film. Usmar meminta Bung Karno memilih antara film Rusia (kurang populer tetapi sarat propaganda) dan film Hollywood (populer tetapi mengandung propaganda halus). Bagi Bung Karno, kedua genre film tersebut tidak sesuai dengan revolusi Indonesia. Sang proklamator kemerdekaan RI itu sontak mengambil jalan tengah. Ia menyarankan film neorealisme Italia, yang menghibur tetapi kaya makna.



Film Ladri di Biciclette, yang diterjemahkan menjadi The Bicycle Thief (1948), dapat dikatakan sebagai pelopor film neorealisme Italia. Bahkan, Andre Bazin dalam tulisannya yang berjudul Neorealism and Pure Cinema¸ menyebut The Bicycle Thief sebagai film terbaik yang mewakili neorealisme Italia, yang berani keluar dari pakem Hollywood.



Sebagaimana film-film neorealisme lainnya, The Bicycle Thief tidak diperankan oleh aktor papan atas. Pemeran Antonio (Lambero Maggiorani) memang seorang pengangguran yang datang ke lokasi casting untuk mengantarkan anaknya. Sedangkan pemeran Bruno (Enzo Staiola) ditemukan Vittorio de Sica, sang sutradara, di sekitar lokasi syuting. Seolah-olah tidak ada acting dalam film ini. Lambero dan Enzo yang memerankan ayah-anak ini seperti berperan sebagai dirinya sendiri. Untuk menjalin chemistry ayah-anak, de Sica hanya memerintahkan Enzo untuk terus berjalan. Sebagai sutradara, ia tidak banyak mengarahkan.



Setali tiga uang dengan para aktor, setting yang dipakai pun tanpa polesan. Tidak ada bangunan yang sengaja dibuat.Film The Bicycle Thief menyuguhkan kenyataan kota Roma, Italia pada tahun 1948. Lantaran efisiensi biaya dan keterbatasan teknologi, pencahayaan murni tergantung pada matahari. Oleh karena itu, pengambilan gambar mayoritas di luar ruangan. Ada kalanya adegan dilakukan di dalam ruangan tetapi pada siang hari sehingga sinar matahari dapat masuk melalui jendela. Jika cermat, pasti Anda akan tergelak karena tidak ada malam di film ini. Para sineas Italia pada masa itu sepertinya masih kesulitan dengan pencahayaan buatan. Atau mereka justru sengaja? Alasannya semata-mata agar tidak mencederai konsep dasar neorealisme yang berpedoman pada kenyataan?



Realita terbentur teknologi. Warna-warni tak dapat dibingkai di film hitam putih ini. Namun, warna tidak menjadi soal. Karena The Bicycle Thief ialah film klasik. Patut dicatat bahwa tidak semua film kuno merupakan film klasik. Menurut Taufanny Nugraha, Menikmati Film Klasik, dalam koran Republika edisi Sabtu 9 Oktober 2010, film klasik hanyalah film yang selalu diapresiasi dan tak pernah basi. Lisabona Rahman, manager program Kineforum DKJ, berkata bahwa sebuah pintu lintas generasi dapat terbuka melalui film klasik. Dengan menonton film klasik, kita menjadi lebih kritis melihat masa kini, apakah kita mengalami kemajuan atau justru kemunduran.



Sepertinya perfilman dunia mengalami kemunduran yang sangat parah, bukan dari segi teknologi, tetapi dari segi cerita. Kompleksitas audio visual yang ditawarkan berbagai film Hollywood tak lantas mendaulatnya sebagai bentuk kemajuan. Toh cerita sederhana seputar pencuri sepeda saja masih lebih banyak diapresiasi daripada film-film mainstream. Banalitas kemiskinan yang diangkat mampu mengaduk-aduk emosi penonton. Terlebih, saat sang ayah menampar anaknya yang membiarkan pencuri sepedanya lolos. Lalu, saat sang ayah akhirnya putus asa dan memutuskan untuk mencuri sepeda juga. Sang anak menangis saat ayahnya hendak digiring ke polisi. Tangisan itu membuat pemilik sepeda iba dan mengurungkan niatnya untuk menjebloskan sang ayah ke dalam penjara. Ternyata, drama realita bisa sangat menyentuh. Tak heran jika program drama realita khas Helmi Yahya kini menghiasi televisi.



Sebagaimana film neorealisme yang merekam kenyataan dengan jujur, saya juga ingin jujur. Sebenarnya, setelah satu setengah jam berlalu, saya sangat mengantuk saat menonton film ini. Durasinya terlalu lama untuk jalan cerita yang sederhana. Apalagi, judulnya sama sekali tidak membantu. The Bicycle Thief, pencuri sepeda. Sejak awal saya sudah tahu bahwa akan ada sebuah sepeda yang dicuri. LOL.




Referensi:

Menikmati Film Klasik. Koran Republika edisi Sabtu 9 Oktober 2010.

http://majalahannida.multiply.com/reviews/item/3

http://bicarafilm.com/baca/2010/05/08/ladri-de-biciclette-nasib-para-pencuri-sepeda.html

[+/-]

Materi & Eksistensi dari Kolaborasi China-Hollywood

[+/-]

Jatuh Bangun Film Indonesia

[+/-]

Film Nasional: Tamu di Negeri Sendiri

[+/-]

Ini Bukan Sekedar

[+/-]

Teks Menentukan Konteks

[+/-]

Pesan Kematian Kane

[+/-]

Rekonstruksi Pendukung Revolusi

[+/-]

Neorealisme Italia: Jalan Tengah Perfilman Dunia