Rabu, 08 Desember 2010

Film Nasional: Tamu di Negeri Sendiri

“Generasi kita nggak mempan dikasih tulisan. Kita ini generasi who gets philosophy in the movie” ujar Annisa di film Cin(T)a. Dalam film indie besutan Sammaria Simanjuntak itu, Annisa, sang tokoh wanita dan Cina, sang tokoh pria, berdebat sengit. Menurut Annisa, memang demikian lah adanya generasi muda Indonesia. Dengan sinis, Cina membantah, “Ditulis saja lah, bikin film terlalu instan”. Namun realita lebih memihak Annisa.



Pemetaan kondisi menjadikan masalah teridentifikasi. Budaya instan telah menjadi biasa, mungkin karena dibiasakan. Alih-alih menganggapnya sebagai racun yang mematikan generasi bangsa, kenapa tidak dimanfaatkan saja sebagaimana yang dilakukan para sineas Rusia. “The cinema is the greatest medium of mass agitation”, Stalin beralasan.



Merujuk pada teori media Marxist, media tak hanya diartikan sebagai sarana penyebar informasi tetapi juga dikritisi sebagai lahan penanaman ideologi dominan (Littlejohn, 2008: 432). Sedangkan media yang paling hebat dalam indoktrinasi ideologi ialah film, paling tidak demikian menurut Stalin.



Teori ekonomi politik media yang berangkat dari pemikiran Vincent Mosco, menyoroti kepemilikan media. Selain menginginkan keuntungan material, tiap-tiap kelompok yang berkepentingan, dalam hal ini pemilik media, tentu berusaha menyebarkan ideologi masing-masing untuk mengukuhkan dominasinya. Ketika dominasi kepentingan pemilik media bergulir, terjadilah hegemoni, yang akan menjajah alam bawah sadar manusia.



Bahaya itu tampaknya mulai disadari. Bukan rahasia bahwa propaganda halus khas film Hollywood biasanya lebih mengena. Film nasional lah yang harus melawan gempuran film Hollywood. Sebab, film nasional bertanggung jawab terhadap representasi identitas nasional bangsa. Untuk itu, film nasional harus diproteksi.



Siasat yang muncul ke permukaan ialah dengan pembatasan kuota film impor. Hal itu dibahas dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada 1993, saat film Hollywood begitu mendominasi pasar perfilman dunia. Ide tersebut bukanlah yang pertama. Sebelumnya, berbagai asosiasi film di Kanada, Australia, Inggris, Perancis, dan Italia telah melakukan pembatasan kuota guna melindungi film nasional masing-masing.



Film nasional diharapkan menjadi tameng dari film-film Hollywood yang dianggap bertentangan dengan kultur bangsa. Namun beberapa akademisi yang mempelajari perfilman seperti Thomas Elsaesser, Stephen Crofts, dan Andrew Higson membantahnya. Menurut Elsaesser, Hollywood justru menjadi komponen utama pembentuk kultur film nasional. Sebab, banyak produser film domestik yang justru mengadaptasi film-film Hollywood ke dalam film-film nasional mereka.



Film hasil indigenasi yang sukses dan komersil tak lain ialah besutan sutradara berkebangsaan Perancis, Luc Besson. Melalui film Nikita (1990), The Professional (1994), dan The Fifth Element (1997), ia meraup keuntungan yang fantastis. Sayangnya, lantaran bersetting di New York, film indigenasi karya Besson menggambarkan Perancis yang abu-abu, seakan tertutup oleh bayang-bayang Hollywood. Masalah ini juga dialami sutradara berkebangsaaan Australia, Baz Luhrmann. Meskipun syutingnya dilakukan di Sydney, tetapi film Moulin Rouge (2001) justru menggambarkan suasana kota Paris.



Permasalahan yang dialami dua sutradara terkemuka di atas, ditanggapi oleh Higson. Pemahaman tentang film nasional selama ini hanya sebagai film-film yang menceritakan sebuah bangsa yang terbatas pada wilayah, masyarakat, dan tertutup dari identitas lain selain identitas nasionalnya (Higson, 2000: 66). Higson mengistilahkan film-film Besson dan film Moulin Rouge sebagai film transnasional, berdasarkan basis produksi dan distribusinya.



Seharusnya, kolaborasi dengan Hollywood tidak perlu dipermasalahkan. Justru itu akan semakin membuat film Indonesia eksis di mata dunia. Daripada meributkan tentang pembatasan kuota film impor, lebih baik terus menggarap film-film yang bermutu.



Apa jadinya jika film-film asing dibatasi lantas yang ada hanya film-film horor porno?



Film nasional Indonesia memang sudah saatnya jadi tuan rumah di negeri sendiri.



Tetapi, bersaing itu bukan dengan menutup jalan lawan kan? Bagaimana bisa bersaing jika hanya sendirian?




Sebuah ulasan dari artikel berjudul National Cinema, Political Economy, and Ideology, terarsip dalam http://www.filmreference.com/encyclopedia/Independent-Film-Road-Movies/National-Cinema-NATIONAL-CINEMA-POLITICAL-ECONOMY-AND-IDEOLOGY.html

0 komentar:

Posting Komentar

Film Nasional: Tamu di Negeri Sendiri

| |

“Generasi kita nggak mempan dikasih tulisan. Kita ini generasi who gets philosophy in the movie” ujar Annisa di film Cin(T)a. Dalam film indie besutan Sammaria Simanjuntak itu, Annisa, sang tokoh wanita dan Cina, sang tokoh pria, berdebat sengit. Menurut Annisa, memang demikian lah adanya generasi muda Indonesia. Dengan sinis, Cina membantah, “Ditulis saja lah, bikin film terlalu instan”. Namun realita lebih memihak Annisa.



Pemetaan kondisi menjadikan masalah teridentifikasi. Budaya instan telah menjadi biasa, mungkin karena dibiasakan. Alih-alih menganggapnya sebagai racun yang mematikan generasi bangsa, kenapa tidak dimanfaatkan saja sebagaimana yang dilakukan para sineas Rusia. “The cinema is the greatest medium of mass agitation”, Stalin beralasan.



Merujuk pada teori media Marxist, media tak hanya diartikan sebagai sarana penyebar informasi tetapi juga dikritisi sebagai lahan penanaman ideologi dominan (Littlejohn, 2008: 432). Sedangkan media yang paling hebat dalam indoktrinasi ideologi ialah film, paling tidak demikian menurut Stalin.



Teori ekonomi politik media yang berangkat dari pemikiran Vincent Mosco, menyoroti kepemilikan media. Selain menginginkan keuntungan material, tiap-tiap kelompok yang berkepentingan, dalam hal ini pemilik media, tentu berusaha menyebarkan ideologi masing-masing untuk mengukuhkan dominasinya. Ketika dominasi kepentingan pemilik media bergulir, terjadilah hegemoni, yang akan menjajah alam bawah sadar manusia.



Bahaya itu tampaknya mulai disadari. Bukan rahasia bahwa propaganda halus khas film Hollywood biasanya lebih mengena. Film nasional lah yang harus melawan gempuran film Hollywood. Sebab, film nasional bertanggung jawab terhadap representasi identitas nasional bangsa. Untuk itu, film nasional harus diproteksi.



Siasat yang muncul ke permukaan ialah dengan pembatasan kuota film impor. Hal itu dibahas dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada 1993, saat film Hollywood begitu mendominasi pasar perfilman dunia. Ide tersebut bukanlah yang pertama. Sebelumnya, berbagai asosiasi film di Kanada, Australia, Inggris, Perancis, dan Italia telah melakukan pembatasan kuota guna melindungi film nasional masing-masing.



Film nasional diharapkan menjadi tameng dari film-film Hollywood yang dianggap bertentangan dengan kultur bangsa. Namun beberapa akademisi yang mempelajari perfilman seperti Thomas Elsaesser, Stephen Crofts, dan Andrew Higson membantahnya. Menurut Elsaesser, Hollywood justru menjadi komponen utama pembentuk kultur film nasional. Sebab, banyak produser film domestik yang justru mengadaptasi film-film Hollywood ke dalam film-film nasional mereka.



Film hasil indigenasi yang sukses dan komersil tak lain ialah besutan sutradara berkebangsaan Perancis, Luc Besson. Melalui film Nikita (1990), The Professional (1994), dan The Fifth Element (1997), ia meraup keuntungan yang fantastis. Sayangnya, lantaran bersetting di New York, film indigenasi karya Besson menggambarkan Perancis yang abu-abu, seakan tertutup oleh bayang-bayang Hollywood. Masalah ini juga dialami sutradara berkebangsaaan Australia, Baz Luhrmann. Meskipun syutingnya dilakukan di Sydney, tetapi film Moulin Rouge (2001) justru menggambarkan suasana kota Paris.



Permasalahan yang dialami dua sutradara terkemuka di atas, ditanggapi oleh Higson. Pemahaman tentang film nasional selama ini hanya sebagai film-film yang menceritakan sebuah bangsa yang terbatas pada wilayah, masyarakat, dan tertutup dari identitas lain selain identitas nasionalnya (Higson, 2000: 66). Higson mengistilahkan film-film Besson dan film Moulin Rouge sebagai film transnasional, berdasarkan basis produksi dan distribusinya.



Seharusnya, kolaborasi dengan Hollywood tidak perlu dipermasalahkan. Justru itu akan semakin membuat film Indonesia eksis di mata dunia. Daripada meributkan tentang pembatasan kuota film impor, lebih baik terus menggarap film-film yang bermutu.



Apa jadinya jika film-film asing dibatasi lantas yang ada hanya film-film horor porno?



Film nasional Indonesia memang sudah saatnya jadi tuan rumah di negeri sendiri.



Tetapi, bersaing itu bukan dengan menutup jalan lawan kan? Bagaimana bisa bersaing jika hanya sendirian?




Sebuah ulasan dari artikel berjudul National Cinema, Political Economy, and Ideology, terarsip dalam http://www.filmreference.com/encyclopedia/Independent-Film-Road-Movies/National-Cinema-NATIONAL-CINEMA-POLITICAL-ECONOMY-AND-IDEOLOGY.html

0 komentar:

Posting Komentar