Rabu, 08 Desember 2010

Ini Bukan Sekedar

Si anak menteng tiba di Jakarta, kali ini sebagai presiden Amerika. Dalam pidatonya, Obama―untuk kesekian kalinya―memuji demokrasi di Indonesia. “Bhinneka Tunggal Ika, Unity in Diversity,” ujarnya berulang kali. Sorak sorai pun bergemuruh di seantero Balairung Universitas Indonesia. Obama memang notabene lebih populer dibandingkan presiden Austria, yang bertandang ke Indonesia pada saat yang sama. Alasannya, Obama kecil pernah tinggal di Menteng selama empat tahun. “Indonesia bagian dari diri saya,”demikian ujar Obama secara fasih dalam bahasa Indonesia. Saking fenomenalnya, penggalan pidato Obama itu menjadi judul berbagai artikel berita.



RT: @wisnu_prasetya: Seharusnya yang mengatakan “Indonesia bagian dari diri saya” itu kita, bukan Obama.



Sebuah kalimat yang pedas, dari seorang teman, yang membuat saya berpikir keras.



Sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa daerah di Indonesia merasa dianaktirikan oleh pemerintah yang jawasentris. Kekayaan alamnya dikeruk, hasilnya dibawa ke Jawa, sementara keuntungan yang mereka terima tidak seberapa. Paling tidak, itulah yang banyak dikeluhkan para putra daerah yang bersangkutan. Saya tidak tahu dengan pasti apa yang terjadi.



Untuk meredam amarah yang bergejolak, tidak cukup dengan pemberian status Daerah Istimewa. Penanganan konflik bersenjata dan bencana alam harus merata. Jika tidak, jangan salahkan jika mereka tidak merasa menjadi Indonesia, sebagaimana judul esai Raisa Kamila.



“Untuk apa mencintai negeri yang tidak mencintai kita?” saya pernah mendengar selentingan ini semenjak kecil, dari kakak saya, dan teringat kembali setelah membaca esai Raisa.



Apakah lantas mencintai tanah air dianggap tolol dan sia-sia?

Ibaratnya, cinta kita tak terbalas, hanya bertepuk sebelah tangan. Untuk apa diteruskan? Apa lebih baik kita segera mengurus green card dan menjadi warga negara Amerika, yang membuat rakyatnya sejahtera?



Ironis. Sebuah tayangan infotainment di televisi diberhentikan sementara oleh KPI lantaran mengangkat mitos-mitos seputar Merapi. Padahal, sebagaimana yang diucapkan dalang edan Sudjiwo Tedjo, masyarakat modern sebenarnya memiliki lebih banyak mitos. Demokrasi itu mitos. Bagaimana mungkin kebenaran diserahkan pada orang banyak?



Atas nama demokrasi, orang-orang mulai berani angkat bicara. Semua protes. Ini diprotes. Itu diprotes. Tentang hakekat cinta tanah air, banyak orang menolak simbol-simbol yang selama ini diagung-agungkan.



Menurut mereka, cinta tanah air tidak ada hubungannya sama sekali dengan upacara.

Seremonial semacam itu,sangatlah menyiksa bagi sebagian besar orang, terutama orang-orang seperti ini:

- RT @hawwinbf: aku nggak kangen upacara bendera, sumpah.

- RT @YL_meganusa: Flag ceremony has nothing to do with our nationalism. Trust me.

Hehe. Mengesampingkan fakta bahwa mereka adalah orang-orang terapatis yang pernah saya kenal dan berani mengumbar keapatisan mereka, tetapi pada kenyataannya, semua orang malas upacara bendera.



Apa buktinya masih kurang?

Tiap kali mahasiswa (dalam suatu organisasi) menerima undangan upacara, pasti berebut. Berebut bilang "Kamu saja ya yang datang!".



Bedanya, saat masih berseragam merah putih hingga abu-abu putih dulu, kita tidak punya pilihan lain. Kalau tidak berkenan tersengat matahari pagi, silahkan ngumpet di kolong meja. Atau ada alternatif yang lebih berkelas, pura-pura sakit lalu tidur dengan nyaman di UKS. Tapi pada kenyataannya, lebih banyak yang memilih untuk bergabung ke tengah lapangan. Ada dua kemungkinan: Pertama, ia memang sadar akan pentingnya upacara (entah lantaran menghormati jasa pahlawan atau demi menjaga muka di depan guru). Kedua, ia tidak punya keberanian untuk bersembunyi di kolong meja atau pura-pura sakit.



Sayangnya, suka tidak suka, jika berada dalam instansi pemerintah, mereka harus mengikuti upacara, menghapal lagu Indonesia Raya, dan mengingat kelima sila Pancasila. Jika tidak, orang-orang akan menganggapnya sebagai sebuah hal yang memalukan.



Cinta tanah air memang tidak sekedar berdiri beberapa jam di terik matahari.

Cinta tanah air memang tidak sekedar menghapal beberapa bait lagu.

Cinta tanah air memang tidak sekedar mengingat beberapa baris kalimat.



Tapi apa susahnya?

Kenapa sombong sekali?



Ini bukan tentang upacara, Indonesia Raya, dan Pancasila.



Sebelum merdeka, para pahlawan bertaruh nyawa untuk ‘sekedar’ mengibarkan sang merah putih dan mengumandangkan Indonesia Raya.



Sekarang, bisakah kita hapus kata ‘sekedar’?



Pepatah mengatakan, kalau ingin dicintai, kita harus mencintai terlebih dahulu. Cinta memang pamrih. Tidak ada cinta tulus di dunia kecuali cinta orang tua terhadap anaknya. Semuanya murni konflik kepentingan semata. Kenapa tidak dimanfaatkan saja?



Kritik itu tanda cinta, ada yang berdalih demikian. Tetapi jika kritik tidak disampaikan dengan benar, jangan-jangan ia justru membunuh secara perlahan.



Secara psikologis, kata-kata negatif yang diucapkan berulang kali akan menjadi sugesti. Lambat laun, ia akan pasrah, menerima nasib bahwa ia memang payah. Padahal Dahlan Iskan sudah menyadarinya sejak lama. Awalnya ia mengkritik Persebaya habis-habisan. Tapi tidak mempan juga. Akhirnya ia sokong spirit juang tim sepakbola Jawa Timur itu dengan menjulukinya Green Force. Ternyata hasilnya justru positif.



Kenapa kita tidak terinspirasi Panji Pragiwaksono, yang menjadikan cinta tanah air sebagai tren?

Kenapa kita tidak berhenti memberi judge kepada orang lain?



We’re just the same human that created by the same God.

Evaluation as right or wrong is only given by God.

People have no right on it.



P.S.: Hari Pahlawan dirayakan di kota Pahlawan, sebuah kombinasi yang sempurna.

0 komentar:

Posting Komentar

Ini Bukan Sekedar

| |

Si anak menteng tiba di Jakarta, kali ini sebagai presiden Amerika. Dalam pidatonya, Obama―untuk kesekian kalinya―memuji demokrasi di Indonesia. “Bhinneka Tunggal Ika, Unity in Diversity,” ujarnya berulang kali. Sorak sorai pun bergemuruh di seantero Balairung Universitas Indonesia. Obama memang notabene lebih populer dibandingkan presiden Austria, yang bertandang ke Indonesia pada saat yang sama. Alasannya, Obama kecil pernah tinggal di Menteng selama empat tahun. “Indonesia bagian dari diri saya,”demikian ujar Obama secara fasih dalam bahasa Indonesia. Saking fenomenalnya, penggalan pidato Obama itu menjadi judul berbagai artikel berita.



RT: @wisnu_prasetya: Seharusnya yang mengatakan “Indonesia bagian dari diri saya” itu kita, bukan Obama.



Sebuah kalimat yang pedas, dari seorang teman, yang membuat saya berpikir keras.



Sudah menjadi rahasia umum bahwa beberapa daerah di Indonesia merasa dianaktirikan oleh pemerintah yang jawasentris. Kekayaan alamnya dikeruk, hasilnya dibawa ke Jawa, sementara keuntungan yang mereka terima tidak seberapa. Paling tidak, itulah yang banyak dikeluhkan para putra daerah yang bersangkutan. Saya tidak tahu dengan pasti apa yang terjadi.



Untuk meredam amarah yang bergejolak, tidak cukup dengan pemberian status Daerah Istimewa. Penanganan konflik bersenjata dan bencana alam harus merata. Jika tidak, jangan salahkan jika mereka tidak merasa menjadi Indonesia, sebagaimana judul esai Raisa Kamila.



“Untuk apa mencintai negeri yang tidak mencintai kita?” saya pernah mendengar selentingan ini semenjak kecil, dari kakak saya, dan teringat kembali setelah membaca esai Raisa.



Apakah lantas mencintai tanah air dianggap tolol dan sia-sia?

Ibaratnya, cinta kita tak terbalas, hanya bertepuk sebelah tangan. Untuk apa diteruskan? Apa lebih baik kita segera mengurus green card dan menjadi warga negara Amerika, yang membuat rakyatnya sejahtera?



Ironis. Sebuah tayangan infotainment di televisi diberhentikan sementara oleh KPI lantaran mengangkat mitos-mitos seputar Merapi. Padahal, sebagaimana yang diucapkan dalang edan Sudjiwo Tedjo, masyarakat modern sebenarnya memiliki lebih banyak mitos. Demokrasi itu mitos. Bagaimana mungkin kebenaran diserahkan pada orang banyak?



Atas nama demokrasi, orang-orang mulai berani angkat bicara. Semua protes. Ini diprotes. Itu diprotes. Tentang hakekat cinta tanah air, banyak orang menolak simbol-simbol yang selama ini diagung-agungkan.



Menurut mereka, cinta tanah air tidak ada hubungannya sama sekali dengan upacara.

Seremonial semacam itu,sangatlah menyiksa bagi sebagian besar orang, terutama orang-orang seperti ini:

- RT @hawwinbf: aku nggak kangen upacara bendera, sumpah.

- RT @YL_meganusa: Flag ceremony has nothing to do with our nationalism. Trust me.

Hehe. Mengesampingkan fakta bahwa mereka adalah orang-orang terapatis yang pernah saya kenal dan berani mengumbar keapatisan mereka, tetapi pada kenyataannya, semua orang malas upacara bendera.



Apa buktinya masih kurang?

Tiap kali mahasiswa (dalam suatu organisasi) menerima undangan upacara, pasti berebut. Berebut bilang "Kamu saja ya yang datang!".



Bedanya, saat masih berseragam merah putih hingga abu-abu putih dulu, kita tidak punya pilihan lain. Kalau tidak berkenan tersengat matahari pagi, silahkan ngumpet di kolong meja. Atau ada alternatif yang lebih berkelas, pura-pura sakit lalu tidur dengan nyaman di UKS. Tapi pada kenyataannya, lebih banyak yang memilih untuk bergabung ke tengah lapangan. Ada dua kemungkinan: Pertama, ia memang sadar akan pentingnya upacara (entah lantaran menghormati jasa pahlawan atau demi menjaga muka di depan guru). Kedua, ia tidak punya keberanian untuk bersembunyi di kolong meja atau pura-pura sakit.



Sayangnya, suka tidak suka, jika berada dalam instansi pemerintah, mereka harus mengikuti upacara, menghapal lagu Indonesia Raya, dan mengingat kelima sila Pancasila. Jika tidak, orang-orang akan menganggapnya sebagai sebuah hal yang memalukan.



Cinta tanah air memang tidak sekedar berdiri beberapa jam di terik matahari.

Cinta tanah air memang tidak sekedar menghapal beberapa bait lagu.

Cinta tanah air memang tidak sekedar mengingat beberapa baris kalimat.



Tapi apa susahnya?

Kenapa sombong sekali?



Ini bukan tentang upacara, Indonesia Raya, dan Pancasila.



Sebelum merdeka, para pahlawan bertaruh nyawa untuk ‘sekedar’ mengibarkan sang merah putih dan mengumandangkan Indonesia Raya.



Sekarang, bisakah kita hapus kata ‘sekedar’?



Pepatah mengatakan, kalau ingin dicintai, kita harus mencintai terlebih dahulu. Cinta memang pamrih. Tidak ada cinta tulus di dunia kecuali cinta orang tua terhadap anaknya. Semuanya murni konflik kepentingan semata. Kenapa tidak dimanfaatkan saja?



Kritik itu tanda cinta, ada yang berdalih demikian. Tetapi jika kritik tidak disampaikan dengan benar, jangan-jangan ia justru membunuh secara perlahan.



Secara psikologis, kata-kata negatif yang diucapkan berulang kali akan menjadi sugesti. Lambat laun, ia akan pasrah, menerima nasib bahwa ia memang payah. Padahal Dahlan Iskan sudah menyadarinya sejak lama. Awalnya ia mengkritik Persebaya habis-habisan. Tapi tidak mempan juga. Akhirnya ia sokong spirit juang tim sepakbola Jawa Timur itu dengan menjulukinya Green Force. Ternyata hasilnya justru positif.



Kenapa kita tidak terinspirasi Panji Pragiwaksono, yang menjadikan cinta tanah air sebagai tren?

Kenapa kita tidak berhenti memberi judge kepada orang lain?



We’re just the same human that created by the same God.

Evaluation as right or wrong is only given by God.

People have no right on it.



P.S.: Hari Pahlawan dirayakan di kota Pahlawan, sebuah kombinasi yang sempurna.

0 komentar:

Posting Komentar